Cari Blog Ini

Rabu, 06 Januari 2010

Kondisi Perekonomian Nasional 2010 Masih Rapuh

Selasa, 29 Desember 2009

BANYAK pengamat ekonomi memperkirakan kondisi ekonomi 2010 menunjukkan perbaikan, namun masih rapuh. Selain faktor non-ekonomi di dalam negeri, pengaruh regional juga akan memberikan kontribusi pada perbaikan ekonomi.

Ekonom dari Universitas Gajah Mada Sri Adiningsih kepada Pelita mengatakan dirinya juga sepakat dengan ekonom lain bahwa masa-masa terburuk krisis telah terlampaui pada 2009. Tapi di sisi lain, pemulihan ini diikuti jatuhnya perekonomian di negara lain pula.
Ia mencatat setidaknya ada beberapa perkembangan ekonomi yang harus diwaspadai seperti krisis Dubai World dan mulai bangkrutnya perbankan Austria dan Yunani. Perkembangan itu bisa saja muncul di tempat lain.

Karenanya, para pengamat ekonomi mengatakan perekonomian nasional pada 2010 masih belum menentu. Untuk itu, Sri Adiningsih berharap APBN 2010 lebih fleksibel sehingga bisa bermanuver.
Menurut dia, perekonomian pada 2010 masih akan bergejolak akibat dari faktor eksternal (dari luar Indonesia) dan faktor dari dalam negeri.
Gejolak dari faktor eksternal karena perbaikan ekonomi yang terjadi saat ini dinilai masih sangat rapuh, dan dapat berbalik arah menuju pemburukan ekonomi dengan cepat.
Krisis keuangan bisa saja terjadi kembali, salah satunya dipicu oleh kasus gagal bayar Dubai World. Apabila Dubai World tidak bisa diselesaikan segera, maka akan berdampak terhadap perekonomian global.
Indonesia juga akan terimbas oleh kasus ini, terutama aliran dana jangka pendek (hot money ) yang bisa sewaktu-waktu keluar dan memukul rupiah.

Apabila rupiah terpukul, tentu saja akan membuat perekonomian Indonesia menjadi sulit, inflasi akan meningkat dan investasi yang didukung oleh barang modal impor akan tertekan.

Faktor dalam negeri yang cukup mengganggu saat ini adalah kasus Bank Century. Menurut dia, apabila kasus tersebut berlarut-larut akan menguras energi dalam membangun di satu sisi. Di sisi lain, semakin memicu ketegangan. Akibatnya, risiko sosisl politik meningkat dan pengaruhnya terhadap investasi terutama di sektor infrastruktur.

Momentum sudah hilang, 100 hari juga sudah hilang, jangan sampai tersandera lama. Khususnya dampaknya pada pembangunan infrastruktur, karena di Indonesia banyak mengandalkan public private partnership (kerjasama pemerintah swasta). Soalnya, kalau tidak segera diselesaikan bagaimana kepastian hukum, apalagi kalau suhu sosial politik meningkat, tutur Sri Adiningsih.
Selain itu, defisit APBN yang meningkat juga perlu diwaspadai terutama karena pembiayaannya berasal dari penerbitan surat berharga negara.
Berhati-hati
Pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini menambahkan, perekonomian Indonesia pada 2010 lebih baik berhati-hati karena negara yang memiliki hubungan ekonomi dengan Indonesia seperti AS dan Jepang masih sangat labil. Meski AS dan Jepang sudah membaik, tapi bukan janji kepada Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Indonesia juga tidak siap menghadapi era keterbukaan yang lebih kompetitif saat ini. Meski Indonesia merupakan satu dari tiga negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif saat ini, namun kualitas pertumbuhannya tidak bisa diharapkan berbeda dengan China dan India.
Potensi perbaikan perekonomian bukan Indonesia, tapi China dan India karena memiliki competitiveness (daya saing). China akan recover (pulih) dengan hardware-nya (perangkat kerasnya), India dengan software (perangkat lunaknya). Kalau Indonesia no where (tidak kemana-mana).

Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan industri manufaktur dan pertumbuhan pertanian yang terus memburuk. Kita tahu dua sektor yang utama yakni manufaktur dan pertanian, share (kontribusi) manufaktur 28 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pertanian 14 persen PDB, tapi pertumbuhannya mengalami penurunan terus hanya 1,3 persen dikuartal III/2009. Artinya, competitiveness (daya saing) Indonesia semakin menurun.
Di sisi lain, pola pertumbuhan ekonomi justru semakin memperkuat terjadinya informalisasi, yaitu perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke informal.
Itu artinya kualitas pertumbuhan ekonomi semakin turun, karena lebih banyak yang bekerja di sektor informal menjadi pembantu dan lainnya. Artinya, ekonomi kita tidak kompetitif, tandas Hendri.
Penerimaan pendapatan dari pajak yang diperkirakan anjlok dari target Rp661 triliun menjadi Rp576 triliun pada 2009 akan menambah masalah defisit. Dikhawatirkan, penerimaan 2010 yang ditargetkan Rp775 triliun tidak akan tercapai, mengingat kondisi ekonomi dunia masih sangat rapuh.
Sementara pengamat perbankan Tony Prasetyantono menilai, penyelesaian kasus Bank Century yang sedang ditangani Pansus Angket di DPR berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010.

Apabila kasus Bank Century berakhir happy ending dan politik dalam negeri tetap stabil, maka target pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 5 persen bisa terealisasi.

Capital inflow ini berdampak positif yakni meningkatkan cadangan devisa dan menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kondisi ini akan menggairahkan pasar Indonesia sehingga target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen bisa tercapai.
Namun, jika sebaliknya kasus Bank Century berakhir tidak happy ending, maka akan berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi di Tanah-Air. Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010 juga tidak akan terealisasi. Kasus Bank Century yang sedang menjadi persoalan nasional saat ini juga menunda masuknya investasi asing ke Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi
Namun, pengamat ekonomi Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 paling tidak akan mampu mencapai 5,4 persen.
Dalam prediksinya tahun depan itu paling rendah 5,4 persen, dan jika ditambah sedikit kerja keras seperti pelaksanaan national single window (NSW), pelayanan pelabuhan 24 jam/hari di Tanjungpriok sehingga produktivitas meningkat, maka insya Allah 6 persen di tangan.
Sektor manufaktur sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi juga harus mendapatkan perhatian serius sehingga dapat lebih berkembang pada 2010.

Omong kosong bisa tumbuh sehat kalau manufaktur tidak tumbuh. Karena itu, sektor manufaktur yang saat ini hanya tumbuh 1,3 persen, tahun depan minimal harus 3,5-4,0 persen, katanya.

Investasi juga perlu mendapat perhatian. Perkiraan kebutuhan investasi Rp2.000 triliun selama lima tahun ke depan sebenarnya hanya untuk tahun 2010 saja.

Untuk lima tahun ke depan, kebutuhannya rata-rata sekitar Rp2.900 triliun. Jumlah itu antara lain akan berasal dari perbankan sekitar Rp400 triliun, investasi dari luar negeri Rp500 triliun, dari pasar modal dan dari investasi asing langsung (FDI).
Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India dan China yang bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggal jauh. Hal itu antara lain karena ekspor Indonesia masih berupa komoditas mentah, sedangkan ekspor dari negara-negara lain sudah berupa produk manufaktur.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimis atas proyeksi kondisi perekonomian nasional 2010 akan mendorong meningkatnya minat investasi di Indonesia.
Investasi itu berhubungan dengan prospek. Artinya, itu juga tergantung bagaimana mereka (calon investor) menganggap perekonomian nasional, apakah cukup prospektif atau tidak.
Semua analisa menyebutkan jika stabilitas sosial politik bisa terjaga, maka calon investor melihat proyeksi kondisi perekonomian nasional tahun depan akan relatif cukup sehat.

Walaupun inflasi tidak serendah tahun ini, mereka melihat proyeksi pertumbuhan 2010 itu relatif cukup sehat yaitu antara 5-5,5 persen, bahkan ada yang optimis 6 persen, ujarnya.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi 5-6 persen menimbulkan semacam optimisme yang akan mempengaruhi minat investasi. Di sisi lain, pemerintah akan terus melakukan berbagai langkah untuk mengurangi kesulitan dan hambatan investasi.
Mengenai perkiraan defisit anggaran 2010, Menkeu mengatakan akan mencapai 1,6 persen dari PDB. Seperti yang saya katakan, bisa saja mencapai 2 persen kalau misalnya seluruh fiscal space-nya dipakai, baik untuk insentif maupun berbagai macam kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, baik itu untuk kebijakan insentif infrastruktur atau industri. Nanti kita lihat, kan APBNP masih menunggu sampai tahun yang baru, tuturnya.
Karenanya tak heran jika Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan, menyatakan realisasi investasi tahun 2010 ditargetkan tumbuh 10-15 persen dibandingkan 2009 dari realisasi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN) 2009.
Selama 2009, realisasi investasi dalam negeri tumbuh 104 persen dari 2008 menjadi Rp30 triliun. PMA turun 28 persen dibanding 2008 menjadi 10 miliar dolar AS. Itu angka sampai Oktober 2009, tapi November dan Desember tidak akan banyak bedanya, tambahnya.
Minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sangat besar. Hal itu terlihat dari tingginya aplikasi yang masuk ke BKPM. Namun, tingkat realisasinya masih rendah yaitu hanya sepertiganya saja.

Gap (kesenjangan) antara realisasi dan aplikasi cukup besar, misalnya kalau aplikasi ada 10, realisasi hanya tiga. Itu mungkin karena masalah waktu. Jumlah aplikasi sekitar 20-30 persen dari angka realisasi.
Beberapa kendala yang menghambat realisasi investasi antara lain menyangkut pengadaan tanah, izin membangun serta izin teknis lainnya yang diperlukan. Untuk itu, pihaknya mengutamakan sistem pelayanan satu pintu agar proses realisasi investasi bisa lebih cepat lagi.
Ekspor nonmigas
Sementara itu, Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Prijambodo memperkirakan ekspor nonmigas secara nominal pada 2010 tumbuh 5 persen, seiring pergerakan pemulihan ekonomi global.
Pertumbuhan ekspor nonmigas didukung terutama sektor komoditas yang diperkirakan mengalami peningkatan harga pada 2010.
Sektor primer untuk barang-barang komoditas masih menjadi andalan dalam ekspor. Ekspor nonmigas akan didukung terutama pemulihan ekonomi di Asia yang memiliki kinerja lebih baik dibandingkan kawasan Eropa dan AS.


Geliat Asia saat ini sangat tergantung dengan kinerja pemulihan ekonomi di dua kawasan tersebut. Bila pemulihan ekonomi Eropa dan AS tidak terganggu, maka geliat Asia akan tetap terus bertahan. Tapi bila kemudian ada gangguan yang menyebabkan pemulihan menjadi berbalik arah, tentunya akan berpengaruh kepada kawasan.

Permintaan barang dari kawasan Asia terutama berasal dari China dan India yang saat ini memiliki pertumbuhan yang masih cukup bagus.
Namun, dengan akan diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) 1 Januari 2010, perkiraaan pertumbuhan ekspor 2010 sebesar 5 persen harus dipertanyakan.

Pasalnya, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum siap menghadapi ACFTA. Karenanya, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi Sandiaga S Uno meminta UMKM mengembangkan produk-produk yang diuntungkan dengan penerapan ACFTA ini.
Sebelumnya, ia mengatakan UMKM meminta menunda ACFTA hingga tahun depan. Masalahnya saat ini, 70 persen pengusaha UMKM khawatir terhadap kesepakatan pembebasan bea masuk impor dari produk-produk China sedangkan sisanya mendukung, karena pengusaha tersebut memang berorientasi ekspor.
Sektor industri yang mengajukan keberatan di antaranya, sebanyak 189 pos tarif berasal dari sektor industri besi dan baja, tekstil, dan produk tekstil (87 pos tarif); kimia anorganik (tujuh pos tarif).
Selain itu, elektronika (tujuh pos tarif), furniture (lima pos tarif), alas kaki (lima pos tarif), petrokimia (dua pos tarif), dan makanan minuman (satu pos tarif).
Pos tarif yang masuk dalam kategori dalam NT 1 (Normal Track 1) yang mulai berlaku per 1 Januari 2010 ini sebanyak 2.528 pos tarif. Namun, dari total tersebut hanya sebanyak 303 pos tarif yang dikabulkan di delapan sektor industri untuk dimajukan dalam proses renegosiasi ACFTA.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mendesak penundaan ACFTA untuk sejumlah sektor maksimal tiga tahun, meskipun kredibilitas Pemerintah Indonesia dipastikan merosot di mata internasional.
Dengan penundaan itu, pemerintah berarti telah menyelamatkan industri terutama di sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, kata Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, dimana gempuran produk China makin besar, maka penundaan implementasi terhadap beberapa sektor sangat mendesak. Indonesia memang harus konsisten ikut dalam ACFTA, namun kenyataan sebagian asosiasi menyatakan angkat tangan, tegasnya.
Sektor yang belum siap bersaing antara lain tekstil, baja, elektronika, kosmetik, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, aluminium, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.
Karenanya, Ketua Komisi VI DPR F-Partai Golkar, Airlangga Hartarto, meminta pemerintah menyiapkan berbagai kebijakan untuk menghadapi ACFTA.
Alasanya, sejumlah sektor riil perlu dukungan untuk menghadapi ACFTA. Kita minta kepada pemerintah secepatnya membuat kebijakan yang tepat untuk menyambut ACFTA. Karena kita paham tak semua sektor riil itu siap menghadapi ACFTA. Jadi, memang ada beberapa yang belum siap, bahkan tak siap, jelasnya.
Pihaknya meminta pemerintah agar lebih memfokuskan dulu dan sekaligus memprioritaskan kebijakan ekonominya untuk menghadapi ACFTA yang sudah di depan mata. Karena dampaknya sangat luas terhadap perekonomian Indonesia, termasuk ancaman buat keberlangsungan sektor riil.
Sektor riil di Indonesia yang tak siap menghadapi ACFTA tentu akan gulung tikar dan mengundang pengangguran. Karena untuk menyelamatkan perusahaan salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).(iz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar