Cari Blog Ini

Senin, 28 Desember 2009

Perdarahan pada Neonatus

Perdarahan pada Neonatus
Posted by admin in March 18th, 2009
Posted in: Uncategorized



































Dalam berbagai penelitian dilaporkan bahwa 5-10% penyebab anemia berat pada neonatus adalah perdarahan. Sedangkan kejadian anemia pada bangsal rawat intensif neonatus tercatat sebesar 25%, yang dinyatakan dengan merendahnya volume sel darah merah. Angka tersebut merupakan kejadian diluar negeri yang fasilitas perawatannya sudah memadai. Meskipun belum ada data, tetapi dengan memperhatikan masih tingginya pertolongan persalinan oleh dukun (70-80%) serta fasilitas pelayanan yang untuk sebagian besar belum memadai, dapat diperkirakan bahwa di Indonesia kejadian perdarahan pada neonatus akan memperlihatkan angka yang jauh lebih tinggi, setidak-tidaknya 2 kali lipat dibandingkan dengan kejadian di negara maju.(1)

II.1. DEFINISI

Perdarahan ialah keluarnya darah dari salurannya yang normal (arteri, vena atau kapiler) ke dalam ruangan ekstravaskulus oleh karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah (2). Sedangkan perdarahan dapat berhenti melalui 3 mekanisme, yaitu :

1. Kontraksi pembuluh darah

2. Pembentukan gumpalan trombosit (platelet plug)

3. Pembentukan trombin dan fibrin yang memperkuat gumpalan trombosit tersebut.

Umumnya peranan ketiga mekanisme tersebut bergantung kepada besarnya kerusakan pembuluh darah yang terkena. Perdarahan akibat luka kecil pada pembuluh darah yang kecil dapat diatasi oleh kontraksi arteriola atau venula dan pembentukan gumpalan trombosit, tetapi perdarahan yang diakibatkan oleh luka yang mengenai pembuluh darah besar tidak cukup diatasi oleh kontraksi pembuluh darah dan gumpalan trombosit. Dalam hal ini pembentukan trombin dan akhirnya fibrin penting untuk memperkuat gumpalan trombosit tadi. Disamping untuk menjaga agar darah tetap didalam salurannya diperlukan pembuluh darah yang berkualitas baik. Bila terdapat gangguan atau kelainan pada salah satu atau lebih dari ketiga mekanisme tersebut, terjadilah perdarahan yang abnormal yang sering kali tidak dapat berhenti sendiri.(2)

II.2. ETIOLOGI

Berdasarkan etiologi dan waktu kejadiannya, perdarahan pada neonatus dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori utama yaitu :

1. Perdarahan in utero

2. Perdarahan obstetrik

3. Perdarahan post natal

4. Perdarahan iatrogenik

Dalam kenyataannya sukar membedakan kejadian perdarahan karena tindakan obstetrik dan perdarahan postnatal, misalnya robekan dengan perdarahan hepar akibat tindakan pada persalinan yang sulit baru akan mengakibatkan gejalanya beberapa hari kemudian dalam masa postnatal. Dalam hal demikian, untuk penggolongannya lebih diutamakan faktor waktu dan bukan faktor penyebabnya, jadi contoh jenis perdarahan tersebut diklasifikasikan ke dalam golongan perdarahan postnatal.(3)

Dalam penanganannya perlu dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, karena perdarahan akut sebanyak 30-50 ml telah dapat menyebabkan anemia dan renjatan. Pengobatan yang berdasarkan diagnosis dini sangat diperlukan untuk mencegah dilakukannya tindakan yang lebih invasif, yang mungkin akan merugikan tumbuh-kembang neonatus dengan perjalanan hidupnya yang masih jauh akan ditempuhnya. Pemberian tranfusi komponen darah dapat merupakan rangsang awal untuk terjadinya reaksi imunologik pada usia lanjut.(3)

II.3. PERDARAHAN IN UTERO

A. Perdarahan Feto-plasenta

Pada jenis perdarahan ini darah janin tercurah ke dalam jaringan plasenta atau terkumpul menjadi hematoma retroplasental. Sebagai akibat perdarahan ini akan lahir bayi dengan anemia.(3)

Etiologi

Penyebab tersering adalah umbilikus yang kaku dan tindakan selama seksio sesarea. Dalam keadaan ini aliran darah ke janin melalui vena akan berkurang, sedangkan aliran darah yang keluar dari janin ke plasenta melalui arteri berlangsung terus, sehingga volume darah janin akan berkurang. Kekurangan tersebut dapat mencapai jumlah 20% dari volume darah janin. Pada seksio sesarea bila posisi bayi ada diatas umbilikus, maka aliran darah dari bayi ke plasenta melalui A. umbilikalis akan menetap, sedangkan aliran balik dari plasenta ke bayi melalui V. umbilikalis akan terhambat karena tekanan hidrostatik. Keadaan inipun mengakibatkan berkurangnya volume darah bayi.(3)

B. Perdarahan Feto-maternal

Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa jenis perdarahan ini terjadi pada 50% kehamilan biasa, mulai dari derajat ringan sampai derajat yang berat. Walaupun pada sebagian besar kasus perdarahan yang terjadi umumnya ringan, namun perdarahan feto-maternal dapat mengakibatkan gawat janin atau kejadian lahir mati, serta merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya anemia pada bayi baru lahir.(3)

Etiologi

Penyebab yang sering dikemukakan adalah tindakan amniosentesis, tindakan pertolongan persalinan (seperti tekanan pada fundus, versi kepala, pengeluaran plasenta secara manual, pemakaian oksitosin), toksemia gravidarum, eritroblastosis fetalis, dan tumor plasenta (korioangioma dan koriokarsinoma). (3)

Manifestasi klinis

Dibedakan antara perdarahan menahun dan akut. Pada jenis menahun, perdarahan terjadi secara lambat selama kehamilan, sehingga janin masih berkesempatan untuk mengadakan kompensasi hemodinamik. Waktu lahir, bayi hanya tampak agak pucat dengan keadaan umum cukup baik, aktif, dan tidak terlihat sakit. Berlainan halnya dengan perdarahan akut, bayi lahir dengan keadaan umum yang lemah, pucat, pernafasan tidak teratur, bahkan mungkin disertai dengan renjatan. Gejala klinis dan laboratorium kedua jenis perdarahan ini dapat dibedakan. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Nilai Hb dapat bervariasi antara 3,0-12,0 g/dl. Pada perdarahan menahun, gejala anemia terdeteksi ketika bayi lahir, sedangkan kadar Hb yang nyata merendah pada perdarahan akut baru terlihat beberapa jam setelah lahir. Dengan demikian kadar Hb pada waktu lahir tidak berkaitan dengan jenis dan beratnya perdarahan. Sediaan apus darah tepi menunjukkan gambaran normokromik-mikrositik pada perdarahan akut atau gambaran hipokromik-mikrositik pada perdarahan menahun; normoblas dapat ditemukan pada kedua jenis perdarahan. Kadar bilirubun serum biasanya normal dan uji Coombs direk memberikan hasil negatif. Karena perdarahan menahun sering mengakibatkan defisiensi besi, maka pada jenis perdarahan ini dapat dijumpai kadar besi dan feritin serum yang rendah.(3)

Pemeriksaan laboratorium terpenting pada perdarahan ibu-janin adalah pemeriksaan untuk membuktikan adanya eritrosit janin dalam sirkulasi darah ibu, yang biasanya dikerjakan dengan cara elusi asam menurut Kleihauer atau cara denaturasi alkali menurut Singer. (3)

Diagnosis

Terjadinya perdarahan feto-maternal harus dicurigai pada neonatus yang lahir dengan anemia tanpa riwayat kehilangan darah sebelumnya dan tanpa adanya tanda isoimunisasi. Diagnosis ditegakkan dengan mendeteksi adanya eritrosit janin pada sirkulasi darah ibu, yang biasanya dikerjakan dengan cara Kleihauer. Pada inkompatibilitas ABO, eritrosit janin yang masuk ke dalam sirkulasi ibu akan dihancurkan oleh anti-A atau anti-B; atas dasar ini pemeriksaan kleihauer harus dikerjakan dalam waktu beberapa jam postnatal. Dengan memperhatikan ciri-cirinya dapat dibedakan antara perdarahan akut dan menahun. Diagnosis duga perlu difikirkan dengan terdapatnya eritrofagositosis pada sediaan apus buffy coat darah ibu atau meningkatnya titer anti-A atau anti-B imun dalam serum ibu menjelang kelahiran. Dengan melakukan pemeriksaan golongan darah ABO/Rh pada ibu dan bayi, kadar Hb F, dan uji Coombs dapat dibuat diagnosis banding dengan sindrom talasemia, hemoglobinopati, atau eritroblastosis fetalis. (3)

Pengobatan

Pada perdarahan akut dapat diberikan carian intravena atau transfusi darah atas indikasi yang tepat. Karena dapat terjadi renjatan dan gawat janin, mungkin diperlukan perawatan intensif; pemberian preparat besi biasanya ditangguhkan. Jenis perdarahan menahun umumnya tidak memerlukan transfusi darah; dalam kasus ini senyawa besi dapat langsung diberikan. (3)

C. Perdarahan Feto-fetal

Jenis perdarahan ini dicurigai untuk pertama kalinya pada tahun 1942 ketika ditemukan adanya anemia pada satu kembar dan polisitemia pada kembar lainnya. Sejak itu jumlah kasus dilaporkan dalam kepustakaan, yang kemudian kejadiannya pada kembar monokrionik diperkirakan sebanyak 15-33%. Perdarahan feto-fetal akan menimbulkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, baik pada kembar donor maupun pada kembar resipien.(3)

Terdapat 2 faktor yang berperan pada perdarahan feto-fetal : (1) jenis plasenta, dan (2) jenis anastomosis. Pada kehamilan kembar terdapat 4 macam plasenta, yaitu : (a) diamniotik-dikorionik terpisah, (b) diamniotik-dikorionik tergabung, (c) diamniotik-monokoriotik tergabung, dan (d) monoamniotik-monokoriotik tergabung. Dibedakan 3 jenis anastomosis pembuluh darah fetus dalam plasenta : (1) arteri ke artei, (2) vena ke vena, dan (3) arteri ke vena. Dengan memperhatikan kedua faktor tersebut, perdarahan feto-fetal sering terjadi pada kembar dengan plasenta monokorionik dan anastomosis arteri ke vena.(3)

Manifestasi klinis

Sebagai akibat transfusi feto-fetal yang paling sering adalah lahir mati atau kematian neonatal dini. Pada jenis perdarahan inipun dibedakan perdarahan menahun dan akut. Gejala yang ditemukan pada kembar donor adalah pucat, lemah, dan mungkin disertai tanda renjatan. Sering ditemukan pula tanda kompensasi sistem eritropoetik, berupa adanya normoblas pada darah tepi atau kenaikan retikulosit. Meskipun tidak selalu, umumnya berat badan bayi donor lebih rendah dari bayi resipien. Kaitan perbedaan berat badan dengan jenis perdarahan dikemukakan sebagai berikut. Bila perbedaan berat badan antara bayi kembar melebihi 20% berat badan bayi kembar yang besar, maka : (1) jenis perdarahan yang terjadi berupa perdarahan menahun, dan (2) bayi kembar dengan berat badan rendah ialah kembar donor. Keadaan ini dapat dikonfirmasikan dengan kenaikan jumlah retikulosit pada kembar kecil sebagai akibat telah terjadinya perdarahan menahun.(3)

Lebih parah lagi gejala yang ditemukan pada kembar resipien sebagai akibat terjadinya polisitemia. Seandainya lahir hidup, gejala akibat polisitemia dapat berupa bayi pletorik, polihidramnion dengan disertai dekompensasi jantung, kesulitan pernafasan, trombosis, hiperbulirubinemia dan kernikterus.(3)

Pemeriksaan Laboratorium

Pada kembar identik (monokorionik) dugaan terjadinya transfusi feto-fetal dimungkinkan bila terdapat adanya perbedaan kadar Hb antara kedua kembar yang melebihi 5 g/dl. Nilai Hb hendaknya ditetapkan dengan pengambilan darah vena. Pada kembar donor ditemukan anemia dengan nilai Hb yang berkisar antara 3,7-18,0 g/dl, jumlah retikulosit meningkat, normoblas pada darah tepi, dan mungkin trombositopenia pada keadaan yang berat. Tanda yang ditemukan pada kembar resipien adalah polisitemia dengan nilai Hb berkisar antara 20-30 g/dl, hematokrit dapat mencapai nilai 82%, dan hiperbilirubunemia yang dapat melebihi nilai 20 mg/dl.(3)

Pemeriksaan makroskopis plasenta dapat pula membantu diagnosis, seandainya ditemukan hidramnion pada kantong amnion yang satu dan oligohidramnion pada kantong amnion lainnya. Pada autopsi dapat dideteksi perbedaan yang nyata pada ukuran dan berat badan bayi maupun organ tubuh, seperti hati, jantung, ginjal, dan timus. (3)

Pengobatan

Penanganan bayi kembar dengan sindrom transfusi feto-fetal memerlukan tindakan cepat dan tepat, serupa dengan tindakan gawat darurat. Bayi kembar donor yang mungkin dalam keadaan gawat memerlukan parawatan intensif yang umum, seperti pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian cairan intravena atau darah, pengelolaan keseimbangan asam-basa dan parameter hematologik lainnya. Bila terdapat gejala payah jantung, dapat diberikan digitalisasi dengan pemberian digoksin 0,03-0,05 mg/kg.BB/hari secara parenteral, yang mungkin perlu disertai degnan pemberian furosemid 0,5-1,0 mg/kg.BB/kali secara intramuskular, dan dapat diulang setelah 2 jam. (3)

Bayi kembar donor dengan keadaan umum cukup baik dan hanya menunjukkan gejala anemia ringan cukup diberi senyawa besi oral, misal sulfas ferosus 5-10 mg/kg BB/hari selama labih kurang 3 bulan. Baik bayi kembar donor maupun resipien pemantauan kadar Hb diperlukan dalam masa 3 bulan postnatal, tanpa menghiraukan pernah atau tidaknya pemberian transfusi darah. Hal ini diperlukan karena seringnya terjadi anemia defisiensi besi pasca transfusi biasa maupun pasca transfusi ganti. Setelah 3 bulan biasanya cadangan besi terpenuhi dan keseimbangan besi tubuh cukup memadai. (3)

II.4. PERDARAHAN OBSTETRIK DAN KELAINAN PLASENTA

Robekan umbilikus

Komplikasi persalinan ini masih dijumpai sebagai akibat masih terjadinya partus presipitatus dan tarikan berlebih pada lilitan atau pendeknya tali pusat pada partus normal. Pada partus presipitatus selain perdarahan dari umbilikus mungkin ditemukan gejala perdarahan intrakranial akibat tidak tertangkapnya bayi saat melahirkan dan kemudian jatuh ke lantai. (9)

Robekan umbilikus mungkin pula terjadi karena kelalaian tersayatnya dinding unbilikus/plasenta sewaktu seksio sesarea. Robekan tali pusat disebabkan pula karena pecahnya hepatoma, varises dan aneurisma pembuluh darah, tetapi pada sebagian kasus tanpa penyebab yang jelas. Kadang-kadang secara sepintas tidak tampak adanya perdarahan eksternal, karena darah yang keluar langsung masuk kedalam jaringan plasenta. Perdarahan karena pecahnya hematoma dapat mengakibatkan perdarahan masif, bahkan kematian bayi. (9)

Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya difikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah, seperti pembuluh aberan, insersi velamentosa tali pusat, atau plasenta multilobularis. Pembuluh darah aberan mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jelly Wharton pada insersi velamentosa, pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam plasenta, karena didaerah tersebut tidak ada proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda atau multipel. Demikian pula pada plasenta multilobularis pembuluh darah yang menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan plasenta sangat rapuh dan mudah pecah. (9)

Perdarahan akibat plasenta previa atau abrupsio plasenta dapat membahayakan bayi. Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya anemia pada 10 bayi baru lahir yang disertai dengan plasenta previa. Abrupsio plasenta lebih sering mengakibatkan kematian intrauterine karena anoksia ketimbang anemia pada bayi baru lahir; diantara bayi dengan abrupsio plasenta yang tertolong hidup, kejadian anemia tercatat hanya sebesar 4%. Pengamatan plasenta untuk menentukan adanya perdarahan hendaknya dilakukan pada bayi yang dilahirkan dengan kelainan plasenta atau dengan seksio sesarea; bila diperlukan pada bayi demikian dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala. (9)

II.5. PERDARAHAN POSTNATAL

A. Perdarahan intrakranial

Trauma lahir intrakranial pada neonatus umumnya berupa perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat terjadi akibat trauma mekanis, trauma hipoksik, atau gabungan keduanya. Dengan kemajuan bidang obstetri, trauma lahir mekanis umumnya dapat dihindari atau dikurangi, tetapi trauma hipoksik sering lebih sukar untuk dihindari. Trauma hipoksik yang terjadi pada bayi kurang bulan atau bayi prematur sering menimbulkan terjadinya perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan masih imaturnya susunan saraf pusat, sistem sirkulasi serebral, dan sistem autoregulasi bayi kurang bulan. Pada waktu ini perdarahan intrakranial pada neonatus lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Lokasi perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.(6)

Klasifikasi perdarahan intrakranial pada neonatus menurut Volpe, dalam garis besarnya secara klinis dibagi dalam empat jenis, yaitu : (1) Perdarahan subdural, pada bayi cukup bulan lebih sering dijumpai dibandingkan dengan bayi kurang bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma. (2) Perdarahan subaraknoid primer, pada bayi kurang bulan lebih sering dijumpai dibandingkan bayi cukup bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma atau faktor hipoksia. (3) Perdarahan intraserebelar, umumnya dijumpai pada bayi kurang bulan yang disebabkan oleh faktor hipoksia atau mungkin oleh faktor trauma. (4) Perdarahan periventrikular-intraventrikular, dijumpai pada bayi kurang bulan, umumnya disebabkan faktor hipoksia.

1. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan trauma kepala pada BBL cukup bulan. Beberapa faktor merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi forseps. (6)

Gejala klinis

Gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala kehilangan darah seperti pucat, gawat nafas, ikterus akibat hemolisis atau menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubun-ubun menonjol, atau sutura melebar. (6)

Diagnosis

Diagnosis perdarahan subdural didasarkan pada riwayat kelahiran bayi disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran lahir dan pada bayi ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol, sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan subdural. (6)

2. Perdarahan subaraknoid primer

Perdarahan subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat trauma lahir, sebagian lain diduga terjadi akibat proses hipoksia janin. Perdarahan ini umumnya ditemukan pada bayi prematur. Perdarahan subaraknoid primer merupakan perdarahan dalam rongga subaraknoid yang bukan merupakan akibat sekunder dari perluasan perdarahan subdural, intraventrikular, atau intraserebelar. Perdarahan umumnya terjadi akibat ruptur pada jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat ruptur pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah umumnya terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa posterior. (6)

Gejala klinis

Gejala klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan fungsi neurologik. Gambaran yang timbul berupa perdarahan yang umumnya kecil saja dan tidak sampai menimbulkan keadaan yang buruk, sedangkan gejala neurologik berupa iritabilitas dan kejang. (6)

Diagnosis

Didasarkan pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan ditemukan adanya riwayat kejang. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya perdarahan dan kenaikan kadar protein. Pemeriksaan ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan diagnosis perdarahan subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga subaraknoid mungkin saja berasal dari sumber perdarahan intrakranial lain. (6)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid umumnya bersifat simptomatik, misalnya pengobatan terhadap kejang atau gangguan nafas. Selanjutnya perlu dilakukan observasi terhadap kadar darah tepi dan sistem kardiovaskular serta kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia. Selain itu perlu diawasi terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi hidrosefalus. (6)

3. Pedarahan intraserebelar

Perdarahan intraserebelar relatif jarang terjadi, lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Secara klinis perdarahan ini sukar ditemukan, walaupun dengan sarana penunjang alat penatahan kepala, umumnya ditemukan pada pemeriksan autopsi. Angka kejadian pada bayi kurang bulan dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g berkisar antara 15-25%. Angka kejadian pada pemeriksaan autopsi ini terlihat lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan klinis dengan penatahan kepala. (6)

Diagnosis

Diagnosis perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta riwayat kesukaran pada kelahiran letak sungsang, tarikan forsep, atau keduanya, dan adanya riwayat hipoksia. Gejala dapat timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir, bahkan setelah umur tiga minggu. Gejala neurologik yang dijumpai umumnya berupa gejala kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau iregularitas pernapasan. Kadang disertai bradikardi, obstruksi aliran cairan serebrospinal disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol, dan sutura melebar. Pada pemeriksaan USG kepada terlihat pembesaran ventrikel. (6)

Penatalaksanaan

Kesukaran dalam penatalaksanaan umumnya disebabkan karena sulitnya menegakkan diagnosis dini perdarahan intraserebelar. Tindakan intervensi bedah hanya dilakukan pada bayi cukup bulan bila dengan pengobatan konservatif keadaan neurologik bayi tetap tidak menunjukkan perbaikan. Pada bayi kurang bulan tindakan bedah akan menghadapi masalah lebih sulit. (6)

4. Perdarahan periventrikular-intraventrikular (PPV-IV)

Jenis perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang sering ditemukan pada bayi kurang bulan. Kejadian PPV-IV pada bayi cukup bulan lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi prematur atau kurang bulan. Pada bayi cukup bulan, perdarahan yang terjadi sebagian besar berasal dari perdarahan pleksus koroid, hanya sebagian kecil berasal dari matriks germinal subependimal.(8)

Faktor resiko

Menurut Volpe (1987) pada dasarnya terdapat tiga kelompok faktor penting penyebab PPV-IV yaitu :

1. Faktor intravaskular, terdiri atas fluktuasi aliran darah serebral, peningkatan aliran darah serebral, peninggian tekanan vena serebral, penurunan aliran darah serebral yang diikuti perfusi, kelainan sistem pembekuan, dan kelainan trombosit.
2. Faktor vaskular, terdiri atas kelemahan integritas vaskular dan kerentanan kapiler matriks terhadap trauma hipoksik-iskemik.
3. Faktor ekstravaskuler terdiri atas kelemahan sistem penyangga vaskular, aktifitas fibrinolitik pada bayi premature, dan penurunan tekanan jaringan ekstravaskular.

Gejala klinis

Tergantung dari berat ringannya perdarahan, gejala klinis PPV-IV yang timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau sindrom, yaitu :

1. Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat perburukan terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan kesadaran menjadi sopor atau koma, gangguan respirasi, kejang tonik umum, posisi deserebrasi, refleks cahaya negatif, reflek vestibular negatif, ubun-ubun besar menonjol, hipotensi, bradikardia, asidosis metabolic dan kelainan homeostasis.
2. Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan kesadaran, gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola mata serta dapat disertai gangguan nafas. Perburukan klinis dapat bertahap dalam beberapa hari.
3. Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak dijumpai kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran radiologik-ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan kemampuan untuk mengenal kemungkinana terjadinya PPV-IV, yaitu dengan cara mengenal kasus risiko untuk timbulnya perdarahan. Risiko tersebut antara lain adalah bayi kurang bulan, bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g, persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila tidak ada sarana USG, maka dapat dilakukan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan.(8)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PPV-IV pada dasarnya terdiri tiga tahap yaitu tindakan pencegahan, pengobatan awal atau pada masa akut, dan penatalaksanaan dilatasi ventrikel posthemoragik.

B. Defisiensi Vitamin K

Perdarahan karena defisiensi vitamin K telah lama dikenal dan Townsend (1894) memberikan istilah Haemorrhagic disease of the newborn untuk membedakannya dari perdarahan yang disebabkan oleh penyakit lain. Oleh the Committee on Nutrition of the American Academy of pediatrics (1961) penggunaan istilah tadi hanya dikhususkan bagi perdarahan yang terjadi beberapa hari pertama kelahiran akibat kekurangan vitamin K dan ditandai dengan defisiensi protombin, prokonvertin, dan mungkin faktor pembekuan lain. Kejadiannya sering ditemukan pada prematuritas, bayi cukup bulan yang hanya mendapat ASI, bayi yang mendapat makanan parenteral, sering diare, sering mendapat antibiotik, dan pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu dalam pengobatan luminal, hidantoin, salisilat, atau kumarin. Diperkirakan kejadian perdarahan pada neonatus yang berkaitan dengan fungsi vitamin K adalah 1 di antara 200-400 kelahiran.(7)

Telah dibuktikan bahwa vitamin K tidak diperlukan langsung untuk pembentukan faktor pembekuan II (protombin), VII, IX, dan X, tetapi berperan secara langsung dalam proses konversi prekursor protein pembekuan menjadi protein pembekuan aktif. Peran vitamin K dalam proses biokimiawi tersebut dalam reaksi karboksilase atom C pada gama-metilen senyawa asam glutamat tertentu yang terdapat pada bahan prekursor protein pembekuan. Teori karboksilase ini tidak hanya berlaku bagi faktor II, tetapi juga untuk faktor pembekuan lain yang tergantung vitamin K, seperti faktor VII, IX dan X.(7)

Manifestasi klinis

Perdarahan yang timbul dapat bervariasi dari yang ringan berupa ekimosis sampai yang bersifat fatal berupa perdarahan intrakranial atau perdarahan internal. Gejala tersebut akan bermanifestasi dalam bentuk perdarahan umbilikus, ekimosis, epstaksis, perdarahan gastrointestinal, adrenal, dan intrakranial dengan berbagai akibatnya. Tidak jarang gejala yang tampak berupa perdarahan yang timbul setelah 4 minggu, biasanya terdapat pada bayi yang mendapat ASI tanpa pemberian vitamin K, bayi dengan diare berulang, hepatitis, atau atresia biliaris. (7)

Penatalaksanaan

Oleh American Academy of Pediatrics untuk pencegahan dianjurkan pemberian vitamin K 0,5-1,0 mg sebagai dosis parenteral tunggal atau 1,0-2,0 mg sebagai dosis oral tunggal. Pemberian dengan dosis serupa dapat diulang untuk keperluan pengobatan, atau dosisnya dapat diperbesar bila diberikan kepada bayi yang dilahirkan dari ibu dalam pengobatan antikonvulsan. Selain itu dianjurkan pula pemberian vitamin k dengan dosis 0,5 mg setiap minggu secara teratur kepada bayi baru lahir yang mendapat makanan parenteral, menderita diare berulang dan menahun, atresia biliaris, hepatitis neonatal, abetalipoproteinemia, atau menderita fibrokistik pankreas. Dalam keadaan tertentu mungkin diperlukan pemberian plasma (beku) segar untuk menangani perdarahan yang mungkin bersifat serius dan fatal. (7)

C. Koagulasi intravaskular diseminata (KID)

KID adalah suatu keadaan patofisiologik pembekuan intravaskular yang menyeluruh dengan akibat terbentuknya mikrotrombus dan timbulnya perdarahan karena terpakai habisnya semua faktor pembekuan dan trombosit. Keadaan terpakai habisnya faktor pembekuan dan trombosit akan menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan. Selanjutnya pembentukan trombus dalam kapiler akan mengakibatkan kerusakan mekanis terhadap eritrosit sehingga terdapat bentuk eritrosit yang terpecah-pecah dan eritrosit yang mengeriput dengan dinding yang tidak treratur rata. KID merupakan keadaan yang sering dijumpai dan menjadi penyebab utama perdarahan pada neonatus yang menderita kelainan patologik.(2)

Etiologi

KID merupakan penyakit tersendiri, tetapi timbul sebagai respons terhadap berbagai rangsangan patologik. Keadaan patologik yang dapat menjadi pemacu KID, khususnya pada neonatus adalah anoksia, hipotensi, sepsis, sindrom gawat paru, dan prematuritas. Rangsangan tersebut akan mempermudah proses koagulasi melalui berbagai kelainan dalam pembuluh darah sebagai berikut : (1) Kerusakan sel endotel, (2) Kerusakan jaringan, (3) Kerusakan eritrosit dan trombosit, (4) kerusakan sistem retikuloendotelial. Keadaan ini khususnya ditemukan pada prematuritas.(2)

Manifestasi klinis

Gejala yang timbul sangat bervariasi dan tergantung dari 2 faktor penentu, yaitu jenis penyakit primer sebagai penyebab KID, dan luasnya perdarahan. Gejala perdarahan dapat bervariasi dari perdarahan berupa petekie yang ringan sampai perdarahan internal yang fatal, seperti perdarahan pulmonal, intrakranial, atau gastrointestinal massif. Biasanya gejala perdarahan yang agak khas adalah terdapatnya rembesan atau tetesan darah yang keluar dari tempat tusukan. Bila proses KID berlanjut, mungkin ditemukan tanda nekrosis dan gangguan jaringan. (2)

Penatalaksanaan

Tindakan yang terpenting adalah penanganan terhadap penyakit primernya dan bukan terhadap masalah perdarahannya, karena KID dengan sendirinya akan teratasi bila penyakit pencetusnya menyembuh. Oleh karena itu dalam pengelolaannya lebih diutamakan tindakan seperti pemberian antibiotik yang serasi dan memadai, koreksi keseimbangan asam-basa, pemantauan tanda vital, dan bila perlu perawatan intensif. (2)

Dewasa ini pemberian heparin lebih terindikasi, yaitu hanya terhadap kasus KID dengan trombosis pada pembuluh darah utama atau menunjukkan gejala perdarahan hebat. Prinsip pemberiannya adalah untuk mempertahankan waktu perdarahan antara 20-30 menit atau waktu tromboplastin parsial antara 11/2 – 2 kali normal. (2)

D. Defisiensi Kongenital faktor koagulasi

Kejadian perdarahan pada neonatus akibat defisiensi kongenital faktor pembekuan jarang terjadi, khususnya di Indonesia. Biasanya bayi dengan kelainan faktor koagulasi ini dapat melalui masa neonatusnya tanpa masalah perdarahan, kecuali pada kasus dengan defisiensi berat atau akibat suatu tindakan bedah (sirkumsisi). Perdarahan neonatus dengan hemofilia dapat dicegah bukan karena adanya faktor VIII ibu yang masuk melalui plasenta tetapi karena dilepaskannya tromboplastin jaringan sebagai akibat tekanan alat penjepit pada luka sirkumsisi. Perdarahan akibat defisiensi faktor pembekuan ini baru dicurigai setelah penyebab utama perdarahan lainnya dapat disingkirkan. Diantara sejumlah kasus yang perdarahan pada masa neonatus, defisiensi faktor VIII dan IX merupakan penyebab yang tersering, sedangkan kejadian karena penyakit Von Willebrand, defisiensi faktor V, VII, X, XI, XIII, dan anfibrinogenemia lebih jarang ditemukan. Selain akibat sirkumsisi, jenis perdarahan yang tampak dapat berupa perdarahan pada tempat suntikan, hematoma subdural, perdarahan subaraknoid, atau perdarahan umbilikus.(2)

Diagnosis prenatal saat ini dimungkinkan terhadap defisiensi faktor VIII dan IX dengan cara pemeriksaan darah janin dan cairan amnion yang masing-masing diperoleh secara fetoskopi dan amnioskopi pada minggu ke 18-21 masa kehamilan. Dengan cara imunologik dapat ditentukan kadar faktor VIII dalam darah janin dan kadar faktor IX dalam cairan amnion. Diagnosis prenatal defisiensi faktor pembekuan lainnya sedang dikembangkan.(2)



DAFTAR PUSTAKA

1. Rustama SD, Neonatal hypothyroidism, idd-Indonesia.net: 22 mei 2004.

2. Hasan R, Alatas H, Penyakit perdarahan, Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta; Infomedika, 1985, hal : 457-482.

3. Hidayah N, Menurunkan insiden perdarahan, Kompas, 14 November 2003.

4. Behrman & Vaughan, Perdarahan pada anak, dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Bagian 1, Edisi 12, Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: hal : 215-218.

5. Markum AH, dkk, Masalah hematologik pada janin dan neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 317-328.

6. Markum AH, dkk, Trauma intrakranial, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 274-279.

7. Markum AH, dkk, Defisiensi vitamin K, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 183-185.

8. Saanin S, Ilmu bedah saraf, Padang; FK UNAND, 2004.hal : 45-48.

9. Wiknjosastro H, Perdarahan pada neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kebidanan dan Kandungan, bagian 1, Edisi 3,; Penerbit Yayasan bina pustaka sarwonohardjo, 1995, Jakarta hal : 210-212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar