Cari Blog Ini

Selasa, 29 Desember 2009

Nasionalisme Dalam 3 Stanza

MAKALAH MATA KULIAH JATIDIRI UNSOED

WAWASAN KEBANGSAAN

NASIONALISME DALAM 3 STANZA









my university





Disusun Oleh:

Ade Akhyar Nurdin

HIF007016





PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka dengan rahmat dan karunia-Nya tersusunlah makalah ini, atas usaha penyusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Jatidiri Unsoed Drs. Slamet Santoso SP., MS .

Oleh karena itu, guna memenuhi tugas yang diberikan, penyusun mengemukakan judul makalah : ”Nasionalisme dalam 3 Stanza“.

Namun demikian, di dalam penulisan makalah ini secara jujur penyusun mengakui masih adanya kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan penyusun atau masih dangkalnya ilmu pengetahuan yang penyusun miliki. Maka kepada para pembaca sudilah kiranya memaklumi, disamping itu pula penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Atas selesainya makalah ini, penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun sehingga penyusunan makalah ini dapat berlangsung dengan baik dan lancar.

Akhirnya penyusun berharap semoga dengan tersusunnya makalah yang masih sederhana ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca yang budiman dalam upaya peningkatan dan penambah wawasan kebangsaan dan nasionalisme kita pada lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Purwokerto, 12 Oktober 2007

Hormat saya,

Penulis






RINGKASAN ( ABSTRAK )

Nasionalisme merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Kondisi nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman.

Dengan Nasionalisme yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Dari Nasionalisme akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme.



Indonesia Raya adalah sebuah lagu yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman yang pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam sebuah acara yang dinamakan sumpah pemuda yang dijadikan sebuah lagu kebangsaan Negara Indonesia. Lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan bangsa Indonesia saat ini dipertanyakan keasliannya. Apakah benar lagu tersebut merupakan karangan dari Wage Rudolf Supratman seperti yang selama ini kita kenal. Adalah seorang Roy Suryo, seorang yang katanya pakar telematika yang kerap mengungkap kasus selebritis tanah air, mengungkapkan pada media bahwa telah ditemukan arsip lagu Indonesia Raya versi 3 stanza. Menurut Roy, lagu tersebut ditemukan di sebuah server sebuah universitas di Belanda bersama dengan Tim Air Putih. Tim Air Putih adalah sebuah LSM yang bergerak di bidang Teknologi Informasi.

Menurut Roy, dirinya juga mendapatkan cukup bukti bahwa lagu 3 stanza ini adalah versi asli dari Indonesia Raya. Bahkan di sejumlah dokumen antara 1928-1945 membuktikan bahwa lagu 3 stanza ini pernah digunakan.




BAB I

PENDAHULUAN

A. Perumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini kiranya perlu dikemukakan adanya rumusan masalah agar nantinya dapat menjadi pedoman untuk mencapai sasaran.

Adapun rumusan masalah yang akan dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai berikut:

“masih ‘sakti’kah lagu kebangsaan kita (Indonesia Raya) guna mempertahankan nasionalisme di Bumi Indonesia?”.

B. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:

1. Secara teoritis, guna memenuhi tugas Mata Kuliah Jatidiri Unsoed.
2. Untuk meningkatkan rasa nasionalisme yang semakin memudar dengan mengkaji lagu kebangsaan Indonesia Raya

C. Manfaat

Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:

1. Mahasiswa bisa mengingat kembali lagu kebangsaan Negara Indonesia
2. Mahasiswa mengetahui arti penting sebuah nasionalisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Mahasiswa bisa mengenal lebih jauh lagu kebangsaan Indonesia Raya
4. Mahasiswa mengetahui nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya
5. Mahasiswa mampu menemukan titik permasalahan yang timbul menyusul ditemukanya lagu Indesia Raya versi 3 stanza

D. Ruang Lingkup

Makalah ini membahas mengenai wawasan kebangsaan yang berhubungan dengan nasionalisme yang terkandung dalam Indonesia Raya, pentingnya memiliki wawasan kebangsaan, pengaruh lagu Indonesia Raya dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu, makalah ini juga membahas tentang upaya untuk mempertahanan nasionalisme di Indonesia.


BAB II

METODE PENULISAN

A. Objek Penulisan

Obyek penulisan mencakup perkembangan, peranan, dan keadaan yang sekarang sedang berlangsung mengenai nasionalisme dan lagu kebangsaan Indonesia Raya versi 3 stanza.

B. Dasar Pemilihan Objek

Indonesia Raya merupakan lagu yang teramat keramat bagi seluruh rakyat indonesia. Semua masyarakat Indonesia wajib megetahui, hafal, dan menghormati lagu kebangsaan ini.

Namun, dinamis searah perkembangan globalisasi dunia, Indonesia sudah mulai kehilangan jati sebagai bangsa Indonesia. Sedikit demi-sedikit rasa nasionalisme mulai terkikis oleh perubahan yang datang dari luar Lagu kebangsaaan Indonesia raya sendiri mulai dilupakan. Ditambah kontroversi yang muncul akibat ditemukanya lagu Indonesia Raya versi 3 stanza. Maka sejauh inilah pemilihan objek penulisan .

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu dengan tema wawasan kebangsaan. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs web internet yang membahas mengenai wawasan kebangsaan terutama yang mengkaji nasionalisme dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

D. Metode Analisis

Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah.


BAB III

ANALISIS PERMASALAHAN

A. PEMBAHASAN

a. Nasionalisme

Pengertian nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Kondisi nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman. Sebagai contoh, kita lihat beberapa negara dunia ketiga atau negara berkembang yang terkena sanksi embargo dari Dewan Keamanan PBB, nyatanya mereka sampai sekarang masih tetap bertahan dan mampu hidup, karena bangsa tersebut memiliki nasionalisme yang mantap.

Berbicara Nasionalisme, kita tidak boleh lepas dari sejarah bangsa, antara lain Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya dan Peristiwa 15 Desember 1945 di Ambarawa, dimana Nasionalisme diwujudkan dalam semboyan “Merdeka atau Mati”. Nasionalisme merupakan motivasi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negaranya.

Dengan Nasionalisme yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Dari Nasionalisme akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Ketiga hal tersebut satu sama lain berkaitan dan saling mempengaruhi.

b. Indonesia Raya

Indonesia Raya adalah sebuah lagu yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman yang pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam sebuah acara yang dinamakan sumpah pemuda yang dijadikan sebuah lagu kebangsaan Negara Indonesia.

Setelah dikumandangkan tahun 1928, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Mungkin, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer de Graeff ketika itu mengatakan, “Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi sebuah bangsa yang toh tidak ada?”

Belanda, yang gentar dengan konsep kebangsaan Indonesia, dan dengan bersenjatakan politik divide et impera, lebih suka menyebut bangsa Jawa, bangsa Sunda, atau bangsa Sumatera, melarang penggunaan kata “Merdeka, Merdeka!”

Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka ikuti lagu itu dengan mengucapkan “Mulia, Mulia!”, bukan “Merdeka, Merdeka!” pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan.

Indonesia Raya, dari susunan liriknya, merupakan soneta-atau sajak 14 baris yang terdiri dari satu oktaf (atau dua kuatren) dan satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai “mendahului zaman” (avant garde), meskipun soneta sendiri sudah populer di Eropa semenjak era Renaisans. Rupanya penggunaan soneta tersebut mengilhami karena lima tahun setelah Indonesia Raya dikumandangkan, para seniman Angkatan Pujangga Baru mulai banyak menggunakan soneta sebagai bentuk ekspresi puitis.

Lirik Indonesia Raya merupakan seloka atau pantun berangkai, menyerupai cara empu Walmiki ketika menulis epik Ramayana. Dengan kekuatan liriknya itulah Indonesia Raya segera menjadi seloka sakti pemersatu bangsa, dan dengan semakin dilarang oleh Belanda, semakin kuatlah ia menjadi penyemangat dan perekat bangsa Indonesia.

c. Nasionalisme yang semakin memudar

Kurangnya nasionalisme dan hilangnya spirit kemerdekaan di kalangan generasi penerus bangsa saat ini ternyata membawa dampak atau pengaruh yang cukup besar terhadap keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini.

Berbagai pengaruh globalisasi dan informasi dan kurangnya pendidikan fisik terutama di bidang kesejarahan seakan menjadi ancaman serius bagi generasi muda dalam memaknai dan menggelorakan semangat kemerdekaan di dalam jiwa mereka. Sejarahwan Unand, DR Gusti Asnan mengatakan penyebab utama dari memudarnya semangat nasionalisme dan kebangsaan dari generasi penerus bangsa terutama disebabkan contoh yang salah dan kurang mendidik yang diperlihatkan generasi tua atau kaum tua yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada mendahulukan kepentingan bangsa dan rakyat.

Mereka seakan larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri tanpa melihat bagaimana fenomena yang terjadi di negara kita saat ini, pengaruh kemiskinan yang sekaligus berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua atau para elite-elite politik bangsa ini. Gusti juga mengungkapkan pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang mulai merebak di negara kita juga menjadi momok yang sangat menakutkan bagi generasi muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaan asli Indonesia dan itu diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak luar. Generasi muda seakan telah meninggalkan ciri khas kebangsaan dan mulai terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh aspek kehidupan di negara kita.

d. Indonesia Raya versi 3 stanza ditengah runtuhnya nasionalisme

Akhir-akhir ini kita dihangatkan oleh berita penemuan rekaman asli lagu Indonesia Raya oleh Roy Suryo Notodiprojo, pakar telematika yang menjelajahi perpustakaan Leiden, Belanda, bersama Heru Nugroho dan Tim Air Putih.

Yang membuat kita heran sekaligus senang, ternyata rekaman dalam dalam bentuk film selluloid itu berbeda dengan lagu Indonesia Raya yang kita lantunkan di setiap perayaan kemerdekaan dan upacara lainnya. Durasinya lebih panjang, yaitu tiga stanza bukan hanya satu stanza yang selama ini kita nyanyikan.

Tampaknya hal ini menjadi kado istimewa bagi peringatan HUT RI ke-62 setelah sekian lama kita hanya menyanyikan dokumen versi saduran dari gubahan Wage Rudolf Supratman. Sehingga tekad untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi asli pada upacara HUT Proklamasi itu pun mendapatkan dukungan beberapa pihak.

Namun apalah arti kado istimewa itu jika kini masyarakat justru kehilangan rasa kebanggaan terhadap bangsa ini. Penemuan lagu kebangsaan versi asli itu tidak bisa memberikan garansi bangkitnya kembali nasionalisme yang telah runtuh di tengah-tengah carut-marutnya keadaan bangsa.

Tentunya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia sedikit demi sedikit mulai runtuh. Sebab masih melekat dalam ingatan kita aksi-aksi separatisme beberapa waktu yang lalu. Mulai dari tarian perang (cakalele) oleh jajaran kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), aksi pengibaran bendera Papua Merdeka oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), hingga pendirian Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM).

Roy Suryo menjelaskan, versi asli Indonesia Raya ini berjudul 3 stanza atau 3 qouplet. “Lagu ini 3 kali lebih panjang dari yang kita kenal sekarang. Dan masih berbahasa Indonesia dalam ejaan yang belum disempurnakan,” jelasnya. Roy memaparkan, lagu Indonesia Raya versi pertama itu isinya tidak jauh berbeda dengan yang kita dengarkan saat ini. “Isinya persatuan Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan Tuhannya, dan untuk membersihkan jiwa raganya, serta janji masyarakat Indonesia untuk mempertahankan negara ini,” bebernya.

Menurut Roy, dirinya juga mendapatkan cukup bukti bahwa lagu 3 stanza ini adalah versi asli dari Indonesia Raya. Bahkan di sejumlah dokumen antara 1928-1945 membuktikan bahwa lagu 3 stanza ini pernah digunakan.
“Ternyata setelah 18 Agustus 1945, lagu yang termuat adalah lagu yang ini,” tukas Roy.

Lagu Indonesia Raya yang diklaim versi asli ini pertama kali dipublikasikan oleh surat kabar Sin Po. Adapun liriknya:


Indonesia Tanah Airkoe

Tanah Toempah Darahkoe

Disanalah Akoe Berdiri

Djadi Pandoe Iboekoe

Indonesia Kebangsaankoe

Bangsa dan Tanah Airkoe

Marilah Kita Berseroe

Indonesia Bersatoe


Hidoeplah Tanahkoe

Hidoeplah Negrikoe

Bangsakoe Ra’jatkoe Semw’wanja

Bangoenlah Jiwanja

Bangoenlah Badannja

Oentoek Indonesia Raja


Reff:

Indonesia Raya Merdeka Merdeka

Tanahkoe Negrikoe jang Koetjinta

Indonesia Raja Merdeka Merdeka

Hidoeplah Indonesia Raja

Indonesia Tanah jang Moelia

Tanah Kita jang Kaja

Di Sanalah Akoe Berdiri

Oentoek Slama-lamanja

Indonesia Tanah Poesaka

Poesaka Kita Semoeanja

Marilah Kita Mendo’a

Indonesia Bahagia


Soeboerlah Tanahnja

Soeboerlah Djiwanja

Bangsanja Ra’jatnja Sem’wanja

Sadarlah Hatinja

Sadarlah Boedinja

Oentoek Indonesia Raja


Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji

Tanah Kita Jang Sakti

Di Sanalah Akoe Berdiri

‘Njaga Iboe Sedjati

Indonesia Tanah Berseri

Tanah Jang Akoe Sajangi

Marilah Kita Berdjandji

Indonesia Abadi


Slamatlah Ra’jatnja

Slamatlah Poetranja

Poelaoenja, Laoetnja, Sem’wanja

Madjoelah Negrinja

Madjoelah Pandoenja

Oentoek Indonesia Raja

Tetapi yang aneh, Tim Air Putih malah menyangkal bahwa telah melakukan penelusuran lagu Indonesia Raya di server tersebut. Mereka mengatakan benar telah memiliki file lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza yang diungkapkan oleh Roy, tetapi file tersebut bukan diambil dari situs universitas di Belanda. File tersebut diperoleh dari sebuah link di www.marhaenis.org yang menghubungkan link-nya ke YouTube dan dan Multiply. Dari situs inilah mereka mendapatkan file tersebut. Memang benar Roy Suryo pernah mengkopi hardisk salah seorang Tim Air Putih, tetapi tidak benar bahwa Roy telah melakukan penulusuran terhadap lagu Indonesia Raya, apalagi sampai ke server di Belanda.

B. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

§ Nasionalisme merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan

§ Kondisi nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman

§ Dari Nasionalisme akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme

§ Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Negara Indonesia yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman yang pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam acara Sumpah Pemuda

§ Lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan bangsa Indonesia saat ini dipertanyakan keasliannya sejak ditemukanya arsip asli lagu Indonesia Raya versi 3 stanza di Belanda

b. Saran

§ Memiliki wawasan kebangsaan sehingga memiliki rasa tanggung jawab untuk menciptakan Ketahanan Nasional diseluruh rakyat Republik Indonesia.

§ Berwawasan kebangsaan agar dapat menciptakan dan menumbuhkan cinta tanah air

§ Memiliki rasa nasionalisme yang baik untuk mempertahankan bumi Indonesia

§ Mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya


DAFTAR PUSTAKA

Adjisoedarmo, Soedito dkk. 2007. Jatidiri Unsoed. Purwokerto. Depdiknas Unsoed

Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka

Riyadi, Slamet dkk. 2006. Kewarganegaraan Untuk SMA/ MA. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka.

Santoso, Djoko. 2007. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta. The Indonesian Army Press

`

Sumber-sumber lain:

Pendidikan Kewarganegaraan 3 SMU

PPKn 2 SMU

http://www.wikipedia.org.id

http://www.tniad.mil.id

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG KRITIS PADA NEONATUS

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG KRITIS PADA NEONATUS
( DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF
CRITICAL CONGENITAL HEART DISEASE IN THE NEWBORN)
Teddy Ontoseno
Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair - RSU Dr. Soetomo Surabaya
Korespondensi :
Dr. dr.H.Teddy Ontoseno Dr. SpAK., SpJP
Telp. : 031 550 1693, 031 5942439, 0818322205
No. Faximile : 031 5938735
Alamat Kantor : Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK. Unair – RSU dr. Soetomo
Jl. Prof Dr. Moestopo 6-8 Surabaya
Alamat e-mail : teddy_ontoseno@yahoo.com
1
ABSTRAK :
Neonatus dengan penyakit jantung bawaan (PJB) yang kompleks pada beberapa jam atau beberapa hari setelah lahir sering tanpa disertai gejala klinis yang jelas, tetapi sebagian neonatus dengan kelainan yang sama sudah memberikan gejala kritis. Perubahan sirkulasi fetal ke neonatal berlangsung dalam satu bulan pertama kehidupan, hal ini memberikan pola pikir rasional bahwa selama dalam periode tersebut, terutama pada saat keluar rumah sakit, sangat perlu re-evaluasi cermat. Tujuannya untuk memantau perubahan sirkulasi fetal ke neonatal sehingga kemungkinan menderita PJB dapat terdeteksi secara dini. Pola pikir ini memerlukan pemahaman dasar tentang sirkulasi fetal dan segala perubahan yang terjadi secara fisiologis pada saat setelah lahir agar dapat melakukan evaluasi secara sistematis dan cermat. Deteksi dini terhadap PJB kritis pada neonatus mutlak diperlukan untuk memberikan terapi awal sehingga kematian dini dapat dihindari serta dapat merencanakan tatalaksana lanjutan yang rasional dan adekuat. Perhatian utama ditujukan terhadap gejala klinis gangguan sistem kardiovaskuler pada masa neonatus, yaitu : sianosis sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea. Tatalaksana dini dan lanjutan yang optimal memerlukan kesepakatan dan kerjasama tim yang baik dari berbagai disiplin ilmu dan profesi, yaitu dokter umum, dokter anak, neonatologi, kardiologi, bedah kardiovaskuler dan anastesi serta perawat.
Kata kunci : PJB kritis, neonatus, gejala klinis
ABSTRACT
The newborn with very complex heart disease is rarely symptomatic, yet many newborn infants with same defects are critically ill within hours or days after birth. The transition from the fetal to a more mature circulation occurs over the first few weeks of life so serial evaluations are necessary during this time, so it is extremely important for every infant to be carefully assessed at the time of discharge and at subsequent visits during the first month of life. A comprehensive understanding of fetal cardiovascular physiology and the changes that occur at birth is essential for developing a systematic approach to the diagnosis and treatment of a newborn with congenital cardiovascular disease. At birth, there are rapid dramatic changes in cardiovascular function and blood flow patterns as the newborn adapts to a new circulation in which oxygen exchange occurs in the lungs, the placenta is removed from the circulation.
Early identification of the newborn with serious or life-threatening heart disease is essential for optimal outcome. The evaluation should focus on the three cardinal signs of neonatal cardiovascular distress: cyanosis, decrease systemic perfusion, and tachypnea. A thoughtful and rational approach to the differential diagnosis is important for prompt recognition and appropriate management. It is imperative that a concerted team approach involving general practitioner, pediatrician, neonatologist, cardiologist, nurse, surgeon, and anesthesiologist are utilized. Effective and ongoing communication is essential for optimizing care and for providing a uniform approach to the management of these complex medical patients.
Key words : Critical CHD, Neonate and clinical manifestation
2
PENDAHULUAN
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab utama kematian pada masa neonatus. Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah maupun bedah jantung dalam 40 tahun terakhir memberikan harapan hidup sangat besar pada neonatus dengan PJB yang kritis. Bahkan dengan perkembangan ekokardiografi fetal, telah dapat dideteksi defek anatomi jantung, disritmia serta disfungsi miokard pada masa janin.1 Di bidang pencegahan terhadap timbulnya gangguan organogenesis jantung pada masa janin, sampai saat ini masih belum memuaskan, walaupun sudah dapat diidentifikasi adanya multifaktor yang saling berinteraksi yaitu faktor genetik dan lingkungan. 2,3
Kita sadari walaupun cara diagnostik canggih dan akurat telah berkembang dengan pesat, namun hal ini tidak bisa dilakukan oleh setiap dokter terutama di daerah dengan sarana diagnostik yang belum memadai. Hal ini tidak menjadi alasan bahwa seorang dokter tidak mampu membuat diagnosis dini dan sekaligus terapi awal, yang dilanjutkan dengan rujukan untuk terapi definitif yaitu bedah korektif di pusat pelayanan jantung. Oleh karena itu, perlu dipahami perubahan-perubahan sirkulasi fetal ke neonatal dan berbagai penyimpangannya dalam periode minimal 1 bulan pertama. Keberhasilan deteksi dini merupakan awal keberhasilan tatalaksana lanjutan PJB kritis pada neonatus. 2,4
PERUBAHAN SISTEM SIRKULASI PADA SAAT LAHIR
Tangisan pertama merupakan proses masuknya oksigen yang pertama kali ke dalam paru. Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta penurunan tahanan ekstravaskular paru dan peningkatan tekanan oksigen sehingga terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan dan penipisan dinding arteri pulmonalis. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel kanan serta peningkatan saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya terjadi peningkatan aliran darah ke paru secara progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini mengakibatkan penutupan foramen ovale juga peningkatan tekanan ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan serta penebalan sistem arteri sistemik. Peningkatan tekanan oksigen sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan vasoaktif prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional dari duktus arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri pulmonalis. Pada neonatus aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan,
3
lalu terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian disusul proses trombosis, proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang akhirnya terjadi penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan.
Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler sistemik, terhentinya aliran darah dan penurunan tekanan darah di vena cava inferior serta penutupan duktus venosus, sehingga tekanan di atrium kanan juga menurun sampai dibawah tekanan atrium kiri. Hal ini mengakibatkan penutupan foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya mengalirkan darahnya ke arteri pulmonalis. Peristiwa ini disusul penebalan dinding ventrikel kiri oleh karena menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi tekanan arteri sistemik. Sebaliknya ventrikel kanan mengalami penipisan akibat penurunan beban tekanan untuk menghadapi tekanan arteri pulmonalis yang mengalami penurunan ke angka normal.
Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale diawali penutupan secara fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel dan jaringan fibrous yang mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen).
Tetap terbukanya duktus venosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap total anomalous pulmonary venous connection dibawah difragma. Tetap terbukanya foramen ovale pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap kelainan obstruksi jantung kanan. Tetap terbukanya duktus arteriosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap semua PJB dengan ductus dependent sistemic dan ductus dependent pulmonary circulation.5,6
FAKTOR YANG MEMBUAT KECURIGAAN TERHADAP PJB KRITIS PADA NEONATUS
1. Riwayat :
• Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
• Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama saat kehamilan trimester I.
• Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral.
2. Pemeriksan Fisik :
• Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis
Frekuensi meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung
II mengeras atau tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas,
intensitas, timing, lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada
4
neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus dengan PJB terdengar
bising jantung.
• Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse dan tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia, edema.
Tidak semua gejala tersebut timbul pada masa neonatus dan tidak semua neonatus dengan gejala tersebut memerlukan tindakan spesifik yang harus segera dilaksanakan tapi memerlukan pemeriksaan tambahan, yaitu :
3. Pemeriksaan tambahan :
• Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi paru, edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.
• Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan QRS, voltase di sandapan prekordial.
4. Pada monitoring, ditemukan kelainan berupa :
• Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan kanan) dan postduktal (kaki).
• pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik (pada neonatus dengan gagal jantung ada peningkatan CO2).7-9
Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta pemeriksaan fisis yang sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan monitoring, maka gejala sianosis sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea akibat PJB kritis pada neonatus bisa ditegakkan. Dengan demikian dapat segera diberikan terapi awal untuk mencegah kematian dini dan sekaligus dapat direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat, rasional dan adekuat. Bilamana fasilitas kesehatan yang memadai tidak tersedia dan neonatus sudah dalam kondisi yang relatif stabil maka dapat dipersiapkan pelaksanaan rujukan ke pusat pelayanan jantung yang terjangkau.
Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB sianosis, terabanya impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri akibat peningkatan beban volume. Bising jantung sering ditemukan pada neonatus normal dan sering tidak ditemukan pada neontus dengan PJB. Bising jantung yang bersifat sistolik ejeksi yang menjalar ke leher akibat lesi obstruksi jantung kiri atau bila terdengar penjalarannya ke punggung maka curiga adanya lesi obstruksi jantung kanan. Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu adanya peningkatan volume darah dan tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru dan adanya situs inversus.
5
Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac cyanosis) sering belum terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa keadaan yang juga memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit parenkhim paru, sirkulasi fetal persisten, kelainan sisitem saraf sentral dan kelainan hematologi. Penyakit parenkhim paru selalu disertai distres nafas yang segera memerlukan ventilator dan ditemukan kelainan pada pemeriksaan foto polos dada. Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding arteria pulmonalis tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai distres nafas yang ringan atau sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi mekonium dan prematuritas serta riwayat ibu mengkonsumsi steroid pada bulan terakhir kehamilan.
Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan mempertahankan pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus dependent pulmonary circulation). Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral (masking effect) sehingga tidak ada persangkaan adanya PJB biru pada neonatus yang sedang kita hadapi. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh tangisan atau aktivitas minum serta peningkatan saturasi oksigen kearah nilai normal mengakibatkan rangsangan penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul gejala sianosis sentral walaupun kadang masih bersifat transient, yaitu terutama pada saat menangis atau aktivitas minum. Penutupan duktus masih terjadi secara anatomis tetapi secara fungsionil masih terbuka. Pada kondisi seperti ini pemeriksaan saturasi oksigen secara serial dengan cara pulse oxymetri memang diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 % dengan kecepatan 1 liter/menit selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis, bila saturasi O2 >90% kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap dibawah 90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis.
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala takipnea ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai gejala pernafasan cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara pernafasan grunting. Hipoksemia akan berjalan progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan duktus yang sudah persisten yaitu secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis sentral semakin nyata dan tampak menetap, yaitu walaupun pada saat tidur maupun beraktivitas.
Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer karena tidak terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta atau disfungsi miokard akibat sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan polisitemia. Dalam beberapa jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang masih terbuka akan meniadakan gejala (masking effect) penurunan perfusi perifer (ductus dependent systemic circulation). Penutupan duktus akan menimbulkan penurunan aliran darah ke sistem arteri perifer, hal ini mengakibatkan 6
penurunan perfusi perifer dengan gejala berupa tidak mau minum, pucat dan berkeringat disertai distres nafas.
Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau kiri ke kanan) baru terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi penurunan tahanan pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin kearah normal. Oleh karena itu, takipnea yang timbul segera setelah lahir tanpa disertai gejala sianosis sentral dan penurunan perfusi perifer menunjukkan suatu kelainan paru, bukan PJB !. Neonatus normal bernafas lebih cepat daripada bayi, namun tidak lebih dari 60 kali per menit untuk periode waktu yang lama.
PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOSI YANG DISERTAI PENURUNAN ALIRAN DARAH KE PARU (CARDIAC CYANOSIS) PADA NEONATUS
Sianosis adalah manifestasi klinis tersering dari PJB simptomatik pada neonatus. Sianosis tanpa disertai gejala distres nafas yang jelas hampir selalu akibat PJB, sebab pada kelainan parenkhim paru yang sudah sangat berat saja yang baru bisa memberikan gejala sianosis dengan demikian selalu disertai gejala distres nafas yang berat.
Pada neonatus normal, pelepasan oksigen ke jaringan harus sesuai dengan kebutuhan metabolismenya. Jumlah oksigen yang dilepaskan ke jaringan bergantung kepada aliran darah sistemik, kadar hemoglobin dan saturasi oksigen arteri sistemik. Pada saat lahir, kebutuhan oksigen meningkat sampai 3 kali lipat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme agar menghasilkan enersi untuk bernafas dan termoregulasi. Untuk ini diperlukan peningkatan aliran darah sistemik 2 kali lipat dan saturasi oksigen 25% sehingga pelepasan dan pengikatan oksigen di jaringan juga meningkat sesuai kebutuhan. sianosis perifer (acrocyanosis) sering dijumpai pada neonatus , hal ini akibat tonus vasomotor perifer yang belum stabil. Tampak warna kebiruan pada ujung jari tangan dan kaki serta daerah sekitar mulut, disertai suhu yang dibawah normal dan hiperoksia tes menunjukkan hasil yang negatip.
Pada neonatus dengan PJB sianosis, tidak mampu meningkatkan saturasi oksigen arteri sistemik, justru sangat menurun drastis saat lahir, sehingga pelepasan dan pengikatan oksigen di jaringan menurun. Kondisi ini bila tidak segera diatasi mengakibatkan metabolisme anaerobik dengan akibat selanjutnya berupa asidosis metabolik, hipoglikemi, hipotermia dan kematian.
Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan (Cardiac cyanosis) yang disertai penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung kanan, yaitu katup trikuspid atau arteri pulmonalis. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan proses oksigenasi darah di
7
paru sehingga darah dengan kadar oksigen yang rendah (unoxygenated) akan beredar ke sirkulasi arteri sistemik melalui foramen ovale atau VSD (pada tetralogy Fallot). Seluruh jaringan tubuh akan mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis sentral tanpa gejala gangguan pernafasan. Kesulitan akan timbul, bila sianosis disertai tanda-tanda distres pernafasan. Terdapatnya anemia berat mengakibatkan jumlah Hb yang tereduksi tidak cukup menimbulkan gejala sianosis. Adanya pigmen yang gelap sering mengganggu sianosis sentral yang berderajat ringan akibat PJB. Sianosis perifer bila disertai bising inoccent dapat menyesatkan dugaan adanya PJB sianotik.
Beberapa kondisi klinis yang memberikan dugaan cardiac cynosis pada neonatus dan sudah merupakan alasan yang cukup untuk merujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap, didasari beberapa alasan tambahan sebagai berikut :
1. Hipoksemia sistemik menimbulkan gejala sianosis sentral
2. Sianosis sentral akibat PJB tidak timbul segera setelah lahir
3. Sianosis sentral tidak tampak selama saturasi oksigen arteri masih diatas 85%
4. Sianosis sentral dengan frekuensi pernafasan yang cepat (hiperventilasi) tanpa disertai pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga serta kadar CO2 yang rendah.
5. Sianosis sentral dengan tes hiperoksia positip.
6. Harus dicari apakah aliran darah sistemik berasal dari ventrikel kanan atau kiri, adanya duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama. Pada kondisi ini diperlukan pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki.11,,55,,66
PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG DISERTAI PENINGKATAN ALIRAN DARAH KE PARU (NON SIANOSIS) PADA NEONATUS
Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri pulmonalis yang tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik, selama tahanan arteri pulmonalis masih tinggi, defek jantung yang ada belum menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah 4-12 minggu postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah yaitu yang seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru terjadi pirau kiri ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising sampai gagal jantung dengan gejala utama takipnea. 8
Harus dibedakan takipnea akibat PJB dan akibat kelainan parenkhim paru, Takipnea akibat PJB non sianosis pada neonatus baru timbul bila peningkatan aliran darah ke paru sampai lebih dari 2,5 kali aliran normal. Takipnea akibat penyakit paru pada neonatus sudah timbul walaupun peningkatan aliran darah ke paru masih ringan-ringan saja. Adanya penyakit pada paru akan memperjelas gejala takipnea pada PJB usia neonatus.
Peningkatan aliran darah ke paru mengakibatkan peningkatan tekanan prekapiler di paru dan aliran limfatik sehingga terjadi peningkatan cairan intersisial di parenkhim paru dan terutama di peribronkhial. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi bronkhioli dan terjadi penurunan aliran udara serta peningkatan tekanan udara, kondisi ini meningkatkan work of breathing dan terdengarnya wheezing expiratoir. 1,8,9
PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG DISERTAI PENURUNAN ALIRAN DARAH KE SISTEMIK PADA NEONATUS
Penurunan aliran darah ke sistemik akibat PJB pada neonatus berupa a) hambatan aliran darah dari paru atau atrium kiri ke ventrikel kiri, b) ventrikel kiri tidak adekuat memompa darah ke aorta. Kedua kondisi ini mengakibatkan peningkatan tekanan vena paru dan edema paru serta penurunan perfusi organ-organ vital. Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa penurunan suhu kulit dan perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan penurunan capillary refile, metabolik asidosis berat serta distres nafas sedang sampai berat.
Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan bawah, normal tekanan darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan denyut nadi tanpa disertai perbedaan tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri karotis. Perbedaan pulsasi arteri karotis dengan pulsasi ekstremitas bawah dan ekstremitas bawah menunjukkan kemungkinan koartasio aorta, interrupted aorta atau arteri subklavia berasal dari aorta d Ada 2 keadaan pada neonatus yang baru lahir dengan penrunan perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang sampai berat yang disertai retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan grunting, yaitu persistent pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary venous return. Kedua kondisi ini sulit dibedakan !, pada persistent pulmonary hypertension sering disertai riwayat prenatal berupa ketuban pecah dini, sindroma aspirasi mekonium atau asfiksia berat.1,8,9
9
Tabel 1 : Kelainan jantung yang memberikan gejala DALAM 2 minggu pertama kehidupan postnatal
(Dikutip dari Sastroasmoro S dalam Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Penidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX FKUI 1989)
Hari ke
Obstruksi Jantung kanan
Malposisi Arteri Besar
Obstruksi Jantung Kiri
Pirau kiri
ke kanan
1
PFC
-
-
-
2
PA tanpa VSD
-
-
-
3
PS berat
TGA tanpa VSD
-
-
4
-
TGA + VSD
HLHS
-
5
-
Ventrikel tunggal ± PS
IAA
-
6
-
-
-
-
7
-
-
-
-
8
TF berat
-
AVS berat
-
9
Anomali Ebstein
-
CoA berat
-
10
-
-
-
PDA besar
11
-
-
-
VSD besar
12
-
-
-
-
13
-
-
-
AVC
14
-
-
TAPVD dengan obstruksi
TrA
Umur rara-rata saat Dx (hari)
3 ± 1
4 ± 1
8 ± 1
12 ± 1
10
Tabel 2 : Kelainan Jantung yang memberikan gejala SETELAH 2 minggu pertama kehidupan postnatal
Umur
Obstruksi Jantung Kanan
Malposisi Arteri Besar
Obstruksi Jantung Kiri
Pirau Kiri ke Kanan
Bulan I
PGA ± VSD
PS berat
PA + TA
TGS ± VSD
HLHS
IAA
AVS berat
CoA berat
TAPVD + obstruksi
Bulan I – V
TA + VS
TF dengan serangan sianotik
SV tanpa PS DORV tanpa PS
PDA Besar
VSD Besar
CAVC
TrA
TA tanpa PS
TAPVD tanpa obstruksi
Bulan VI – XII
TF tanpa serangan sianotik
TA + PS sedang
DORV + PS
Ebstein
ASD Besar
Tahun II - VI
TF ringan
CoA
ASD
AVS
VSD sedang
PDA kecil
Keterangan :
PFC = sirkulasi janin yang menetap; PA= atresia pulmonal; PS= stenosis pulmonal; TGA= transposisi arteri besar; HLHS=sindrom hipoplasia jantung kiri; IAA=arkus aorta terputus; TF=tetralogi Fallot; AVS=stenosis katub aorta; CoA=koartasio aorta; PDA=duktus arterisosus persisten; VSD=defek septum ventrikel; AVC=kanalis atrioventrikular; TAPVD=anomali total drainase vena pulmonalis; TrA=trunkus arteriosus; DORV=double outlet right ventricle; SV=ventrikel tunggal. (Dikutip dari Sastroasmoro S dalam Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Penidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX FKUI 1989) 11
PEMERIKSAAN TAMBAHAN LAINNYA YANG DIPERLUKAN UNTUK PJB KRITIS PADA NEONATUS
Selain pemeriksaan elektrokardiogram untuk melihat kemungkinan adanya disritmia, aksis dan potensial listrik dari ventrikel, juga pemeriksaan foto polos dada untuk melihat besar dan bentuk jantung serta parenkhim paru serta letak organ diluar jantung (inversus atau solitus). Pemeriksaan ekokardiografi sangat penting untuk menetapkan/konfirmasi diagnosis defek anatomis pada setiap neonatus dengan dugaan PJB. Fetal ekokardiografi dapat mendeteksi fetal heart failure bila ditemukan edema scalp, asites, efusi perikard atau gerakan fetus yang melemah.
Pemeriksaan kateterisasi dan angiokardiografi yang dilanjutkan dengan intervensi non bedah (balloon atrial septostomy, balloon valvuloplasty, intraductal stent dan balloon angioplasty) sering merupakan tindakan yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan kematian dini serta untuk optimalisasi kondisi klinis dalam rangka persiapan operasi jantung terbuka sebagai pengobatan definitif untuk neonatus dengan PJB kritis.
Pemeriksaan mean corpuscular volume (MCV) dan serum ferritin sangat menggambarkan status besi pada setiap neonatus dengan PJB sianosis. Pada kondisi ini bila ada defisiensi besi merupakan risiko untuk terjadinya trombosis dan perdarahan otak.1,12,13
PENATALAKSANAAN AWAL NEONATUS DENGAN PJB KRITIS
Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan kondisi kritis pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada kecenderungan para dokter untuk melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan pasien.
Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan dalam mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan kegawatan jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi (sianosis sentral, peningkatan aliran darah ke paru atau penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut :
1. Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37o C dan kelembaban sekitar 50%).
12
2. Pemberian oksigen
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal ini memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus ductus dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation malah mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar (0,21% O2).
Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan
meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada
neonatus yang mengalami distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan
ini dapat akan berkurang dengan pemberian oksigen yang dilembabkan dengan
kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter nasofaringeal. Pada
neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan ventilasi mekanik sangat
diperlukan.
3. Pemberian cairan dan nutrisi
Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat badan.
Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih dapat
diberikan masukan oral susu formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu
perhatian khusus pada PJB kritis terhadap gangguan reflex menghisap dan
pengosongan lambung serta risiko aspirasi. Pemberian melalui sonde akan
menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi shock, pemberian cairan 10 – 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons terhadap peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital yang lain. Disfungsi miokard akibat asfiksia berat memerlukan pemberian dopamin dan dobutamin.
4. Pemberian prostaglandin E1
Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan sementara menunggu kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional selanjutnya, prostaglandin E1 diberikan pada :
a. Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru (Atresia pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau meningkatkan tekanan
13
atrium kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih baik (transposisi pembuluh darah besar).
b. Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah atau tak teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta, transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri).
Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter umbilikalis, dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit selama belum timbul efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi efek samping berupa hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera diturunkan dosisnya dan diberikan bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka selain menurunkan dosis prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2 rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak terjadi efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka dosis dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1 perlu disiapkan ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten. Bila ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin E1 segera dihentikan.
Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang hampir sama dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada awalnya diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan.
Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum (0,10 mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya harus segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention.
5. Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia
14
Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus diberikan adalah diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan dosis awal 1 mg/kgBB yang dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3 kali sehari.
Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung (inotropik dan vasopresor) dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm 10 mikrogram/kgBB per oral, untuk neonatus aterm 10 – 20 mikrogramkgBB per oral. Diberikan loading dose sebesar 1/2 dari dosis digitalisasi total, disusul 1/4 dosis digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4 dosis sisanya diberikan 12-24 jam kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB per oral. Pemberian intravena dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari dosis per oral. Dosis per oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada penurunan funsi ginjal.
Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal vascular bed) dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (meningkatkan kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat baik untuk meningkatkan penampilan jantung dengan dosis yang minimal.
Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan meningkatkan kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan gagal jantung kongestif. Dosis 1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis yang sama untuk rumatan. Sangat efektif pada kondisi neonatus dengan: a) penurunan fungsi ventrikel, b) pirau kiri ke kanan yang masif, c) regurgitasi katup, c) hipertensi sistemik, d) hipertensi pulmonal.
Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node rate, dilatasi renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka penampilan jantung dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi perifer dan mengurangi hipoksia jaringan.
Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia berat telah dikurangi dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya akan menghilang dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia tanpa memperbaiki hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain tidak bermanfaat juga malah menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih membahayakan.
6. Koreksi terhadap kelainan metabolik
15
Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali sukar dikoreksi. Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2 ml/kgBB intravena perlahan-lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas darah.
Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium, natrium, magnesium dan kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi secepatnya bila pada pemantauan klinis ditemukan hal-hal tersebut.1,13,14
PENATALAKSANAAN SPESIFIK NEONATUS DENGAN PJB KRITIS
Setelah tindakan umum awal tersebut diatas dikerjakan, seorang dokter harus dapat mengukur kemampuan menangani neonatus dengan PJB yang kritis sesuai dengan fasilitas setempat dengan melakukan evaluasi terhadap segala yang telah dikerjakan. Bila hasil evaluasi tidak ada perbaikan atau bahkan memburuk dan tindakan lebih lanjut tidak dapat dilakukan, maka harus dipikirkan untuk merujuk penderita sesegera mungkin ke rumah sakit yang lebih lengkap. Bila kondisi memungkinkan langsung dirujuk ke pusat pelayanan jantung yang terjangkau. Disini setelah diagnosis spesifik ditegakkan maka harus bisa dijawab (1) apakah kelainan yang ada dapat ditolong dengan operasi ?, dan (2) apakah tindakan bedah harus dilakukan segera atau dapat ditunda?.
Tindakan di pusat pelayanan jantung yang perlu dilakukan untuk mengurangi derajat hipoksemia sesuai dengan kelainan anatomik jantung, berupa (a) meneruskan dan melengkapi terapi medik yang telah diberikan, (b) intervensi non bedah yaitu : septostomi atrium dengan balon, valvuloplasti katup dengan balon atau pemasangan stent untuk mempertahankan duktus tetap terbuka, dan (c) tindakan bedah, bila memungkinkan langsung dilakukan koreksi total sebagai tindakan definitip atau dapat ditunda.
a. Terapi medik
Bila yang dihadapi adalah PJB kritis akibat decompensated PDA, ditandai hiperaktif prekordium, bising kontinyu pada ICS 2 kiri, wide pulse pressure, bounding pulses, kardiomegali dan peningkatan vaskularisasi pada foto polos dada, maka pembatasan cairan dan pemberian diuretika diteruskan. Bila tidak ada respons maka segera diberikan Indomethasin 0,2 – 0,3 mg/kg/BB/dosis intravena diulang setiap 8-12 jam sampai maksimal 3 kali/hari. Bila belum juga ada respon, program bisa dulang sampai 2 -3 hari, kalau tetap tidak ada respons maka segera dilakukan operasi ligasi duktus.
Bila yang dihadapi adalah PJB kritis yang bergantung kepada terbukanya duktus (ductus dependent systemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation), maka meneruskan pemberian prostaglandin E1 dengan dosis minimal yang optimal.
16
b. Intervensi non bedah
Septostomi septum inter atrial dengan balon dapat memperbaiki hipoksemia secara dramatis terutama pada transposisi pembuluh darah besar dengan percampuran darah sistemik dan pulmonal yang tidak adekuat. Dilatasi katup pada critical pulmonal/aortic stenosis dengan balloon valvuloplasty memberikan hasil yang cukup dramatis.
Pemasangan stent didalam duktus telah dicoba di beberapa pusat pelayanan jantung di luar negeri, tapi masih dipertimbangkan keuntungan dan kekurangannya serta masih perlu studi jangka panjang.
c. Tindakan bedah
Di negara yang sudah maju, telah dilakukan operasi koreksi jantung pada masa neonatus, sehingga tindakan bedah ini merupakan tindakan rutin dari penatalaksanaan awal PJB sianotik. Di Indonesia hal ii belum dapat dilaksanakan, seingga tindakan bedah biasanya merupakan langkah lanjutan dari penatalaksanaan PJB sianotik.
Tindakan bedah tersebut berupa (a) bedah paliatif untuk meningkatkan aliran darah ke paru dengan pintasan Blalock-Taussig atau modifikasinya, atau tindakan mengikat arteri pulmonalis untuk mengurang aliran darah ke paru, dan (b) bedah definitif untuk menjamin fisiologi yang normal dengan melakukan koreksi anatomik.16-19
KONSULTASI, RUJUKAN dan TRANSPOTASI
Dengan mencermati langkah-langkah yang telah diuraikan diatas, seorang dokter dapat mengukur kemampuan menangani neonatus dengan PJB yang kritis sesuai dengan fasilitas setempat. Bila tindakan lebih lanjut tidak dapat dilakukan, maka harus dipikirkan untuk merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap atau bila kondisi memungkinkan langsung dirujuk ke pusat pelayanan jantung yang terjangkau.
Di negara maju, rujukan dini sudah merupakan kesepakatan di antara para dokter umum, dokter anak, dokter ahli jantung, dokter ahli perawatan intensif dan ahli bedah jantung. Di Indonesia, berbagai kendala meliputi lokasi, komunikasi, transportasi, biaya dan pengertian atau persetujuan pihak keluarga penderita.
Bilamana segala aspek telah dipertimbangkan dan diputuskan untuk melakukan rujukan segera, maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengamankan neonatus selama transportasi, berupa : (a) bahaya hipotermia, neonatus harus dibawa dalam inkubator, dengan tambahan selimut katun serta kertas aluminium untuk mencegah kehilangan panas, (b) asidosis, harus dikoreksi sebelum neonatus dibawa, mungkin koreksi perlu diulang dalam perjalanan yang jauh, tentunya hanya berdasarkan penilaian klinis saja, (c) kelainan metabolik berupa hipoglikemia, 17
hipokalsemia, hipokalemia dan hipovolemia atau anemia harus dicegah dan sedapat mungkin diatasi sebelum neonatus dibawa, (d) hipoksia berat, harus dikurangi dengan ventilasi yang harus dilakukan sebelum bayi dibawa. Pemberian prostaglandin E1 sudah harus dimulai walaupun diagnosa definitif belum bisa ditegakkan. Bila mungkin didampingi dokter atau dokter anak dan perawat, tidak boleh dilupakan informed concent dan lembar observasi mencatat waktu, kejadian klinis, semua obat dan tindakan yang telah dikerjakan.13,20
TUGAS PERAWAT PADA NEONATUS DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN KRITIS
Diagnosis PJB kritis pada neonatus selalu menimbulkan beban moril maupun materiil dan rasa bersalah, putus asa, bingung, marah pada orang tua, kakek nenek, saudara-saudaranya dan seluruh keluarga penderita. Pada kondisi seperti ini, peran perawat sangat penting untuk membantu tim dokter dalam memberikan suasana tenang serta membantu memberikan informasi tentang kondisi penderita, keadaan klinis yang menggambarkan kegawatan jantung (peningkatan frekuensi nafas, bertambah jelasnya sianosis sentral, menurunnya kemampuan minum dan produksi kencing, muntah atau melemahnya tangisan) dan rencana pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang akan dikerjakan untuk menyelamatkan penderita dari kematian dini. Peran perawat juga sangat diperlukan dalam kardiologi pencegahan, yaitu ikut membantu mengidentifikasi faktor risiko yang kemungkinan terjadi pada penderita selama masa prenatal.
KEPUSTAKAAN
1. Artman M, Mahony L, Teitel DF. Neonatal Cardiology. The McGraw-Hill Companies Medical Publishing Division. 2002
2. Ontoseno T. Kelainan jantung bawaan dan etiologinya masa kini. Buletin Toraks Kardiovaskuler Indonesia. 1996 : IV (4) : 30-34.
3. Saenz RB, Diane KB, Laramie C. Triplett, M.D. Caring for Infants with Congenital Heart Disease and Their Families. University of Mississippi Medical Center Jackson, Mississippi American academy of Family Physician. 2003
4. Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau, kini, dan masa mendatang : Perannya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskuler. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam ilmu kardiologi anak pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1997: 11 Juni.
5. Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA, Tynan M. Fetal circulation and circulatory changes at birth. In : Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA and Tynan M, eds. Paediatric Cardiology. Vol.2 Churchill Livingstone, 1987: 109.
6. Wren C, Richmond S, Donaldson L : Presentation of congenital heart disease in infancy : implications for routine examination. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1999 : 80 : F49-F53.
7. Dinarevic S, Kurtagic S, Maksic H : Use of prostaglandins in neonatal Cardiology. Med Arh. 2000 :54(5-6):279-82
8. Westmoreland D : Critical congenital cardiac defects in the newborn. J. Perinat Neonatal Nurs. 1999 : Mar 12(4):67-87.
9. Friedman WF, Silverman N. Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company Philadelphia London New York St Louis Sydney Toronto. 2001: pp 1505-1591.
18
10. Korones SB, Bada-Ellzey HS : Shock. In : Korones SB, Bada-Ellzey HS,eds. Neonatal Decision Making. B.C Decker An Imprint of Mosby-Year Book, Inc. 1993 : 158-160.
11. Sastroasmoro S. Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Dalam: Sastroasmoro dan Madiyono B ed. Penatalaksanaan kedaruratan kerdiovaskular pada anak Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX FKUI. Desember 1989:1-20
12. Hsia C.C.W. Respiratory Function of Hemoglobin. The New England Journal of Medicine. 1998: 338 (4) : 239-47
13. Wilkinson JL. Initial management and referral for surgical intervention of neonates with critical congenital heartd disease. Indones J Pediatr Cardiol 2002:1: 4-6
14. Dinarevic S, Kurtagic S, Maksic H : Use of prostaglandins in neonatal cardiology. Med Arh. 2000 : 54(5-6):279-82
15. Mulyadi M Djer, Bambang Madyono, Sudigdo Sastroasmoro, Sukman T Putra, Ismet N Oesman, Najib Advani, Mazeni Alwi : Stent implantation into ductus arteriosus: a new alternative of palliative treatment of duct-dependent pulmonary circulation. Paediatrica Indonesiana. 2004 : 44 (1-2): 30-36.
16. Korones SB, Bada-Ellzey HS : Patent Ductus Arteriosus. In : Korones SB, Bada- Ellzey HS,eds. Neonatal Decision Making. B.C Decker An Imprint of Mosby- Year Book, Inc. 1993 : 162-163.
17. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of art and future directions. Pediatr Cardiol 1998 : 19: 107-24
18. Ontoseno T. Perjalanan hidup penderita dengan Penyakit Jantung Bawaan. Jurnal Kardiologi Indonesia. 1996 : XXI : 329-334.
19. Lewis AB, Freed MD, Heyman MA, Roehl SL, Kensey RC. Side effect of prostaglandin E1 in infants with critical congenital heart disease. Circulation 1981: 64: 893-8.
20. Sao Paulo SP : Critical Analysis of Diagnostic Methods in Pediatric Cardiology. Arq Bras Cardiol 2001: 76 (1), 4-6.
21. Sullivan ID : Prenatal diagnosis of structural heart disease : doe it make a difference to survival ? Heart 2002 : 87: 405-406.
22. Eronen M : Outcome of fetuses with heart disease diagnosed in utero. Arch Dis
a. Child 1997 : 77 : F41-F46
19

PENGGUNAAN METRONIDAZOLE SEBAGAI PREVENSI KELAHIRAN PRETERM PADA WANITA HAMIL DENGAN VAGINOSIS BAKTERIAL ASIMTOMATIK

PENGGUNAAN METRONIDAZOLE SEBAGAI PREVENSI KELAHIRAN PRETERM PADA WANITA HAMIL DENGAN VAGINOSIS BAKTERIAL ASIMTOMATIK

Latar Belakang
Vaginosis bakterial telah diketahui berhubungan dengan kelahiran preterm. Dalam percobaan-percobaan klinis, pengobatan vaginosis bakterial pada wanita hamil yang telah mengalami persalinan preterm sebelumnya dapat menurunkan resiko berulangnya kejadian tersebut.
Metode
Untuk menentukan apakah pengobatan pada wanita dengan bakterial vaginosis asimptomatik (berdasarkan pengecatan gram & pH vaginal) dapat mencegah persalinan preterm, kami secara acak meneliti 1953 wanita yang memiliki umur kehamilan 16-24 minggu untuk menerima dosis 2 gram metronidazole atau plasebo.
Hasil
Vaginosis bakterial ditemukan pada 657 dari 845 wanita pada kelompok metronidazole yang telah melalui follow-up pengecatan gram (77,8%) dan 321 dari 859 wanita pada kelompok plasebo (37,4%). Persalinan preterm terjadi pada 116 wanita kelompok metronidazole (12,2%) dan 121 wanita kelompok plasebo (12,5%). (RR 1,0. 95% Interval kepercayaan 0,8-1,2). Pengobatan ternyata tidak mencegah terjadinya persalinan Preterm yang disebabkan persalinan spontan, atau ruptur selaput amnion secara spontan. Pengobatan dengan metronidazol tidak menurunkan resiko melahirkan preterm berulang, infeksi intraamnion atau post partum, sepsis neonatal, atau rujukan bayi ke NICU.
Kesimpulan
Pengobatan vaginosis bakterial asimptomatik pada ibu hamil tidak mengurangi terjadinya kelahiran preterm atau bayi yang cacat. (N.Engl J Med 2000; 342; 534-40.)
------------

LATAR BELAKANG

Kelahiran preterm adalah penyebab utama kematian dan kesakitan neonatus. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa infeksi berhubungan dengan persalinan preterm dan berat badan bayi lahir rendah1. Khorioamnionitis berhubungan kuat dengan persalinan preterm2,3 dan kegagalan terapi dengan obat tokolitik4.Kejadian infeksi terlihat dari adanya organisme atau sitokin peradangan di dalam cairan amnion atau membran khorioamnion, 3-5 biasanya diikuti dengan persalinan preterm dan ruptur membran preterm, terutama pada usia kehamilan yang masih awal. Mikroorganisme yang paling sering ditemukan dalam cairan amnion dan plasenta adalah berasal dari vagina, khususnya pada wanita dengan vaginosis bakterial.3
Vaginosis bakterial dialami kurang lebih 800.000 wanita hamil per tahun di Amerika Serikat, dan wanita dengan vaginosis bakterial lebih sering mengalami persalinan preterm atau berat badan bayi lahir rendah daripada wanita yang tidak mengalami vaginosis bakterial.6-10 Apabila pengobatan vaginosis bakterial bertujuan untuk untuk menurunkan resiko ini, seperti 80.000 kelahiran preterm, 4000 perinatal diantaranya meninggal dan 4000 sisanya mengalami kelainan neurologis tiap tahun di Amerika Serikat akan dapat dicegah.9 Penggunaan metronidazole tunggal atau metronidazole dengan eritromisin akan mengurangi resiko berulangnya persalinan preterm diantara para wanita dengan vaginosis bakterial yang telah mengalami persalinan preterm sebelumnya.. Bagaimanapun juga, pengobatan vaginosis bakterial dengan krim klindamisin vaginal pada wanita hamil dengan resiko persalinan preterm yang rendah tidak mengurangi terjadinya persalinan preterm.14,15 Untuk menentukan apakah skrining vaginosis bakterial dan pengobatan sistemik dari kondisi ini akan menurunkan resiko kejadian persalinan preterm, kami telah mengadakan sebuah percobaan terapi metronidazole pada wanita hamil dengan vaginosis bakterial asimptomatik.

METODE
Subjek dan Pemeriksaan Awal
Kami telah memeriksa dengan teliti wanita-wanita dengan kehamilan berusia 8 minggu sampai 22 minggu 6 hari untuk mengetahui adanya vaginosis bakterial dan infeksi Trichomonas vaginalis. Beberapa wanita tidak memenuhi syarat untuk diperiksa karena hal-hal berikut:
1. Peningkatan cairan vagina, disertai gatal, rasa terbakar, atau bau.
2. Alergi terhadap metronidazole.
3. Penyalahgunaan pemakaian Etanol yang sering.
4. Terapi dengan antibiotik 14 hari sebelumnya.
5. Dengan sengaja menerima perawatan antenatal atau melakukan persalinan di tempat perawatan yang bukan tempat dilakukannya follow-up atau dimana semua informasi mengenai persalinan tersebut tidak dapat dilacak.
6. Merencanakan terapi antibiotik sebelum persalinan.
7. Sedang atau berencana melakukan Cervical cerclage.
8. Terjadi kelahiran preterm sebelum pemeriksaan.
9. Sedang atau merencanakan terapi dengan obat tokolitik.
10. Janin lahir mati atau janin lahir hidup dengan cacat.
11. Kehamilan dengan janin lebih dari satu.
12. Penyakit medis (Hipertensi, DM, Asma) yang memerlukan terapi obat secara intermiten dalam jangka waktu lama.

Sebuah Dacon swab diambil dari perbatasan 1/3 atas dan 2/3 bawah dari dinding lateral vagina, diambil selapis dan ditaruh diatas side glass dan ditetesi dengan stik pH (Color phast pH Stick,Curtin Matheson, Grand Prairie, Tex). Slide dari wanita yang mempunyai pH vagina lebih tinggi dari 4,4 dikirim ke laboratorium salah satu peneliti, dimana mereka melakukan pengecatan Gram, hasil penelitian diintrepetasikan menurut kriteria Nugent, et al. Sistem penilaian secara detail dijelaskan pada tabel 1. Berhubungan dengan hasil penelitian kami sebelumnya, kami membatasi vaginosis bakteri sebagai nilai pengecatan gram 7 atau lebih pada perbatasan vagina dengan pH lebih dari 4,4. Slide dari wanita dengan pH vagina 4,4 atau dibawahnya dibuang, karena menurut definisi kami, wanita-wanita ini tidak memiliki riwayat vaginosis bakterial. Swab tambahan diinokulasikan ke dalam medium Diamond untuk isolasi T. vaginalis.
Para wanita yang terbukti mengalami vaginosis bakteri saat pemeriksaan akan dipertimbangkan untuk dilakukan pengacakan. Mereka yang mempunyai vaginosis bakteri dan T.vaginalis secara bersamaan, tidak memenuhi syarat untuk dilakukan percobaan dan langsung diarahkan untuk menjalani percobaan pengobatan infeksi T.vaginalis. Para wanita tidak memenuhi syarat utama untuk dilakukan randomisasi, bila mereka hamil dengan umur kehamilan 16 minggu 0 hari sampai 23 minggu 6 hari dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Para wanita tidak memenuhi kriteria bila mereka mengkonsumsi antibiotik sejak pemeriksaan, apabila waktu antara pemeriksaan dan randomisasi melebihi 8 minggu atau jika tes mereka terhadap syphilis atau gonorrhea (atau Chlamydia trachomatis jika dilakukan pemeriksaan rutin pada masa kehamilan) adalah positif. Hasil penelitian ini diakui oleh instansi yang bertugas memantau lembaga-lembaga klinis, dan semua wanita telah diberi lembar inform consent sebelum randomisasi.

Randomisasi dan Follow Up.
Semua wanita di USG, jika mereka belum melakukan itu, untuk mengkonfirmasi masa kehamilan fetus, diperkirakan dari waktu menstruasi terakhir. Secara random, sampel vagina diambil untuk pengukuran pH, pengecatan Gram, dan kultur T. vaginalis. Hasil yang didapat dilaporkan ke pusat koordinasi biostatistik tetapi tidak ke bagian klinis.
Setelah semua spesimen diperoleh, para wanita secara acak mendapat perlakuan Double Blind dengan mendapat 8 kapsul, tiap kapsul mengandung 250mg Metronidazole atau plasebo laktosa. Kapsul-kapsul tersebut disiapkan dengan menempatkan baik tablet generik metronidazole atau tablet plasebo dalam sebuah kapsul dan mengisinya dengan laktosa, sehingga mereka memiliki penampilan yang sama. Kapsul tersebut akan tercerna dan akan mempresentasikan hasil penelitian terhadap personal. Para wanita diberi tambahan 8 kapsul yang mengandung substansi yang sama seperti sebelumnya, untuk diminum selama 48 jam berikutnya. Di dalam meta-analisis, sebuah kesamaan pada 2 dosis regimen dilakukan untuk mendapatkan efektifitas yang sama untuk standar 7 hari penggunaan metronidazole, dalam penelitian awal kami menemukan bahwa persamaan ini mengurangi nilai pengecatan Gram kurang dari 7 dalam 100% dari 33 wanita dan ke-4 atau kurang dari 89% wanita. Metode randomisasi Urn, dimana stratifikasinya menurut pusat klinis, digunakan untuk membuat sekuens randomisasi umum komputer.
Satu kunjungan Follow Up dijadwalkan antara masa kehamilan 24 minggu 0 hari hingga 29 minggu 6 hari, sekurang-kurangnya 14 hari setelah kunjungan awal. Tipe spesimen yang dikumpulkan pada waktu kunjungan awal, dikumpulkan lagi pada waktu Follow Up. Para pekerja di klinik sekali lagi tidak menyangka apa yang akan terjadi pada hasil pemeriksaan. Para wanita diberi perlakuan lagi yang sama dengan dua dosis yang serupa diterima awal, tanpa memperhatikan hasil dari Follow Up pengecatan gram. Pemeriksaan secara personal kepada para wanita dengan menanyakan apakah mereka telah menerima dosis kedua, yang harus diterima 48 jam setelah dosis awal; mengenai efek samping yang mungkin timbul pada 2 dosis awal, dan mengenai apakah mereka telah mendapat antibiotik klinis setelah randomisasi.

Penilaian Hasil
Umur kehamilan pada waktu randomisasi dapat diketahui dengan menghitung waktu dari menstruasi terakhir, dengan ketentuan bahwa perkiraan berdasarkan hari menstruasi terakhir dan berdasarkan hasil ultrasonografi yang disetujui dalam 7 hari, jika ultrasonografi dilakukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, atau dalam 14 hari, jika dilakukan pada umur kehamilan setelah 20 minggu. Ketika ada perbedaan pada dua penaksiran, umur kehamilan pada randomisasi ditentukan dari hasil pemeriksaan ultrasonografi yang pertama dilakukan selama kehamilan, dan umur kehamilan pada saat kelahiran ditentukan dari lama waktu antara randomisasi dan kelahiran. Kelahiran preterm didefinisikan sebagai kelahiran pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu lengkap (256 hari).
Sebagai tambahan pada garis dasar dan kunjungan lanjutan, wanita tersebut menerima perawatan prenatal yang biasa pada tempat perawatannya. Setelah kelahiran, personil studi melakukan review semua rekam medis prenatal, proses kelahiran, dan postpartum dan abstraksi tanggal kelahiran, berat bayi lahir, and terapi antibiotik yang diberikan selama randomisasi sampai waktu postpartum, termasuk tanggal dan indikasi untuk terapinya. Juga perlu dicatat kunjungan dan perizinan untuk ke rumah sakit, persalinan preterm, penggunaan obat tokolitik, ketuban pecah dini (kurang dari satu jam sebelum onset persalinan dan sebelum umur kehamilan 37 minggu), gejala klinis infeksi intraamniotik, endometritis postpartum, dan sepsis neonatal.

Analisa Statistik
Kita membandingkan variabel berlanjut menggunakan tes Wilcoxon rank-sum dan membandingkan variabel kategorikal menggunakan chi-square atau tes eksak Fisher. Perpanjangan kehamilan ditaksir oleh life table methods, dengan wanita-wanita memasuki life table methods pada umur kehamilan pada saat randomisasi dan berkelanjutan sampai mereka melahirkan, tidak terpengaruh pada follow up, atau mencapai 37 kehamilan minggu, yang mana saja datang lebih dulu. Kurva Event-Free survival diperkirakan dengan menggunakan metode Kaplan-Meier, dengan penyesuaian untuk membedakan umur kehamilan pada saat masuk. Arti statistik yang menyangkut perbedaan antara kurva survival ditaksir dengan menggunakan tes fungsi skor propotional-hazards-model. Sebelum memulai penelitian, pembagian grup cara Lan dan DeMets yang dimodifikasi O’Brien-Fleming dipilih untuk menyesuaikan dengan tingkat kemaknaan analisa sementara. Dua analisa sementara diadakan, dengan data koresponden 14 sampai 49 persen dari sampel yang direncanakan. Maka, pada analisa final tentang persalinan preterm, nilai two-tailed P 0,049 atau kurang, lebih tepatnya 0,05 atau kurang, dianggap signifikan. Untuk perbandingan lainnya, nilai P 0,05 atau kurang dianggap signifikan. Sebuah data independen dan komite pengawasan keselamatan meninjau hasil sementara.

Hasil
Total 29.625 wanita dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan skreening mulai 30 Mei 1995 sampai 5 Januari 1998. Dari jumlah ini, 21.965 wanita menyelesaikan pemeriksaan skreening, 6540 mempunyai bakterial vaginosis tanpa trichomoniasis, dan 1953 secara acak diberikan plasebo atau metronidazole. Karakteristik wanita pada dua grup ini mirip. Data umur kehamilan (dalam minggu) pada saat persalinan hilang pada 34 wanita (1.7 persen), 13 pada kelompok metronidazole dan 21 pada kelompok plasebo.

Pemenuhan dan Efek Samping
Terapi secara penuh terdiri dari 32 kapsul yang terbagi pada empat dosis, wanita yang tidak melengkapi kunjungan follow up dianggap tidak meminum obat lagi setelah pemberian yang pertama. Karena wanita tersebut tidak menghubungi lagi setelah kunjungan follow up, informasi yang tidak terkumpul dianggap sampai final (keempat) dosis 2 gram penuh. Untuk tiga dosis pertama, rata-rata jumlah kapsul yang diambil oleh wanita berdasarkan informasi ini 21,4 pada grup metronidazole dan 21,7 pada grup plasebo (P=0,12). Semua kapsul yang berjumlah 24 pada tiga dosis pertama diambil oleh 78.8 persen wanita pada grup metronidazole dan 81.8 persen pada grup plasebo; tidak ada wanita pada grup metronidazole dan hanya satu pada grup plasebo yang tidak mnengambil kapsulnya.

Total 1757 dari 1953 wanita (90 persen) kembali untuk follow up dan memberikan informasi tentang efek sampingnya. Alasan kegagalan untuk kembali karena kehilangan kontak (114 wanita), tidak setuju untuk melanjutkan pada studi ini (38 wanita), melahirkan sebelum jadwal kunjungan (27 wanita), dan alasan macam-macam (17 wanita); tidak ada perbedaan signifikan antara dua grup ini pada jumlah yang tidak melanjutkan kunjungan follow up. Efek samping secara signifikan lebih sering terjadi pada grup metronidazole (21,6 persen) daripada grup plasebo (9,1 persen). Penemuan ini dianggap disebabkan oleh secara langsung tingginya gejala gastrointestinal (19,7 persen vs. 7.5 persen), sering muntah (9.7 persen vs. 2.8 persen), pada grup metronidazole. Total 12 persen wanita pada grup metronidazole dan 4.9 persen pada grup plasebo diberi terapi untuk infeksi jamur vagina dengan obat antijamur topical (P<0.001).

Kejadian Persalinan Preterm
Data hasil tersedia untuk 1919 dari 1953 wanita (98.3 persen). Frekuensi persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu tidak berbeda secara signifikan pada grup metronidazole dan grup plasebo (resiko relatif pada grup metronidazole, 1.0; interval kepercayaan 95 persen, 0.8 sampai 1.2). Demikin juga, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup pada jumlah persalinan sebelum usia kehamilan 35 atau 32 minggu. Pada kedua grup tidak ada perbedaan signifikan tentang berat lahir rendah (<2500 g), berat lahir sangat rendah (<1500 g), atau persalinan preterm yang disebabkan persalinan spontan atau ketuban pecah dini. Grup plasebo dan metronidazole dibandingkan pada analisis kelangsungan hidup. Analisa tambahan tidak menemukan pada semua grup, dimana metronidazol secara signifikan menurunkan kejadian persalinan preterm.

Efektivitas Terapi
Di antara wanita yang mengikuti pengecatan Gram setelah terapi pertama, bakterial vaginosis masih ditemukan pada 188 dari 845 wanita pada grup metronidazole (22,2 persen) dan 538 dari 859 wanita pada grup plasebo (62,6 persen). Di antara 1687 wanita pada kedua grup yang mengikuti follow up pengecatan Gram dan informasi tentang persalinannya tersedia, persalinan preterm terjadi pada 77 dari 718 wanita yang mempunyai bakteri vaginosis pada saat follow up (10.7 persen) dan 103 dari 969 wanita mengalami remisi bakterial vaginosis (10.6 persen) (P=0.95), tanpa mempedulikan terapinya.

Hubungan Kehamilan yang Lain dan Komplikasi Neonatal
Terapi dengan metronidazole tidak menurunkan kejadian pengiriman ke rumah sakit karena persalinan preterm atau ketuban pecah dini, penerimaan obat tokolitik, infeksi vagina yang membutuhkan terapi, infeksi intraamniotik klinik, atau endometritis postpartum. Kedua grup tidak berbeda secara signifikan tentang pengaliran mekonium, kematian janin atau neonatus selama perawatan, pengiriman ke ruang perawatan intensif neonatus (NICU), ataupun kejadian sepsis neonatal.

DISKUSI
Pada eksperiman klinis ini, terapi dari bacterial vaginosis asimptomatis dengan metronidazol tidak menurunkan resiko kelahiran premature pada wanita dengan resiko kelahiran premature rendah atau dengan riwayat kelahiran premature. Hasil kami setuju dengan Mc Donald et al.,12 yang juga melaporkan tidak ada penurunan resiko kelahiran premature diantara wanita hamil dengan bacterial vaginosis yang diterapi dengan metronidazol. Kadang-kadang, hasil kami pada wanita dengan riwayat melahirkan premature sebelumnya berbeda dengan beberapa penelitian lain yang sebagian besar menemukan adanya penurunan resiko kelahiran prematur berulang pada wanita dengan bacterial vaginosis yang diterapi dengan metronidazol11,12 atau metronidazol dan erythromicin13 daripada wanita yang menerima placebo. Bagaimanapun, penelitian kami berbeda dengan yang lain dalam beberapa hal. Dua penelitian mempelajari wanita yang pernah melahirkan premature sebelumnya,11,13 dimana kami mempelajari populasi wanita hamil secara umum. Penelitian ketiga, bacterial vaginosis didiagnosa berdasarkan hasil positif pada kultur untuk Gardnerella vaginalis, sedangkan kami dengan pewarnaan gram.12

Beberapa kritik mungkin ditujukan pada penelitian kami. Terapi terdiri dari terapi jangka pendek metronidazol yaitu 2x2gr dosis dalam 48 jam yang terpisah secara acak, dan 2 dosis lagi dalam 24 jam pada wanita dengan usia kehamilan < 30 minggu. Kami memilih regimen ini untuk memenuhi kebutuhan, sedikitnya separuh terapi dapat diberikan pada setiap penelitian yang ada sekarang. Berbeda dengan regimen kami yang memakai 4x2 gr dosis, regimen metronidazol yang digunakan dalam penelitian lain diberikan lebih dari 4 hari12 atau 7 hari.11,13 regimen kami sama efektifnya dengan yang digunakan oleh penelitian lain untuk terapi bacterial vaginosis, tetapi mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memusnahkan organisme dari tractus genital bagian atas. Kemungkinan lain, antibiotik tambahan yang mempunyan efek anti inflamasi, atau dengan spektrum yang berbeda, seperti eritromicin, mungkin diperlukan untuk menurunkan resiko kelahiran prematur.
Pemberian terapi lebih dini atau akhir dalam kehamilan mungkin memberikan hasil yang berbeda, karena infeksi bacterial vaginosis intra uterin mungkin mendahului kehamilan.21 Kami memilih untuk memberikan terapi lebih dini pada trimester ke-2 untuk menghindari pengaruh metronidazol pada janin di trimester pertama dan mengulangi terapi pada trimester ke-2 atau awal trimester ke-3 sehingga terlalu banyak terapi yang diberikan. Tidak ada perbedaan manfaat terapi yang diberikan pada wanita sebelum usia kehamilan 20 minggu dengan sesudah 20 minggu, dimana ketika membran yang membatasi uterus tertutup,21 dan tidak ada penurunan angka kelahiran pada usia kehamilan < 32 minggu, yang paling mendekati waktu pemberian terapi. Penemuan ini menunjukkan bahwa waktu terapi kami sudah tepat.
Hasil kami menunjukkan bahwa pemeriksaan awal pada wanita untuk menemukan adanya bacterial vaginosis asimtomatis dan memberikan terapi jangka pendek dengan metronidazol oral tidak menurunkan resiko kelahiran prematur walaupun efektif membasmi bacterial vaginosis. Walaupun berbagai literature menunjukkan bahwa infeksi intra uterin dan bacterial vaginosis berhubungan dengan kelahiran premature,3-10 hasil penelitian kami tidak mendukung penggunaan metronidazol untuk mencegah kelahiran premature pada wanita hamil dengan bacterial vaginosis asimtomatis, tidak peduli apakah infeksi tersebut beresiko tinggi atau rendah untuk menyebabkan kelahiran prematur.

Didukung oleh bantuan dari The National Institute of Children Health and Human Development (U10 HD21410, U10 HD21414, U10 HD 27869, U10 HD27917, U10 27905, U10 HD27860, U10 HD27861, U10 HD27883, U10 HD27889, U10 HD27915, U10 HD34122, U10 HD34116, U10 HD34210, U10 HD34208, dan U10 HD34136) dan The National Institute of Allergy and Infectious Disease (AI 38514 dan U01 HD36801).
Dipresentasikan pada pertemuan tahunan The Society for Maternal-Fetal Medicine, San Francisco, 21-23 Januari 1999.

Kami berhutang budi pada P. Hitchcock, D.V.M., atas konstribusinya merancang penelitian ini.

APPENDIX
Anggota lain dari The National Institute of Child Health and Human Development Network of Maternal-Fetal Medicine Units adalah sebagai berikut : University of Alabama at Birmingham: R. Copper, A. Northen, W. Andrews; University of Chicago: P. Jones, M. Lindheimer; University of Cincinnati: N. Elder, T. Siddiqi; George Washington University Biostatistic Center: C. MacPherson, S. Leindecker; Magee Woman’s Hospital: S. Caritis, M. Controneo, T. Camon; University of Miami: S. Beydoun, C. Alfonso; National Institute of Child Health and human Development: C. Catz, D. McNellis, S. Yaffe; Ohio State University: J. Iams, F. Johnson, M. Landon; University of Oklahoma:
G. Thurnau, A. Meier; Medical University of South Carolina: B. Collins, F. LeBoeuf, R. Newman; University of Tennessee: B. Mercer, R. Ramsey; University of Texas at San Antonio: M. Berkus,
S. Nicholson; University of Texas Southwestern Medical Center: M. Sherman, S. Bloom; Thomas Jefferson University: M. DiVito, J. Tolosa; University of Utah: D. Dudley, L. Reynolds; Wayne State University: S. Bottoms (deceased), G. Norman.

REFERENSI
1. Gibbs RS, Romero R, Hillier SL, Eschenbach DA, Sweet RL. A review of premature birth and subclinical infection. Am J Obstet Gynecol 1992; 166:1515-28.
2. Driscoll SG. Significance of acute chorioamnionitis. Clin Obstet Gynecol 1979;22:339-49.
3. Hillier SL, Martius J, Krohn M, Kiviat N, Holmes KK, Eschenbach DA. A case-control study of chorioamnionic infection and histologic chorioamnioitis in prematurity. N Engl J Med 1988;319:972-8.
4. Hauth JC, Andrews WW, Goldenberg RL. Infection-related risk factors predictive of spontaneous preterm labor and birth. Prenat Neonat Med 1998;3:86-90.
5. Romero R, Mazor M. Infection and preterm labor. Clin Obstet Gynecol 1988;31:553-84.
6. Gravett MG, Nelson HP, DeRouen T, Critchlow C, Eschenbach DA, Holmes KK. Independent association of bacterial vaginosis and Chlamydia trachomatis infection with adverse pregnancy outcome. JAMA 1986;256:1899-903.
7. McDonald HM, O’Loughlin JA, Jolley P, Vigneswaran R, McDonald PJ. Prenatal microbiological risk factor associated with preterm birth. Br J Obstet Gynaecol 1992;99:190-6.
8. Hillier SL, Nugent RP, Eschenbach DA, et al. Association between bacterial vaginosis and preterm dlivery of a low-birth-weight infant. N Engl J Med 1995;333:1737-42.
9. Goldenberg RL, Andrews WW, Yuan AC, MacKay HT, St Louis ME. Sexually transmitted diseases and adverse outcomes of pregnancy. Clin Perinatol 1997;24:23-41.
10. Meis PJ, Goldenberg RL, Mercer B, et al. The preterm prediction study: significance of vaginal infections. Am J Obstet Gynecol 1995;173:1231-5.
11. Morales WJ, Schorr S, Albritton J. Effect of metronidazole in patient with preterm birth in preceding pregnancy and bacterial vaginosis: a placebo-controlled, double-blind study. AM J Obstet Gynecol 1994;171:345-7.
12. McDonald HM, O’Loughlin JA, Vigneswaran R, et al. Impact of metronidazole therapy on preterm birth in women with bacterial vaginosis flora (Gardnerella vaginalis): a randomized, placebo controlled trial. Br J Obstet Gynaecol 1997;104:1391-7.
13. Hauth JC, Goldenberg RL, Andrews WW, Du Bard MB, Cooper RL. Reduced incidence of preterm delivery with metronidazole and erythromycin in women with bacterial vaginosis. N Engl Med 1995;333:1732-6.
14. Joesoef MR, Hillier SL, Wiknjosastro G, et al. Intravaginal clindamycin treatment for bacterial vaginosis: effects on preterm delivery and low birth weight. Am J Obstet Gynecol 1995;173:1527-31.
15. McGregor JA, French JI, Jones W, et al. Bacterial vaginosis in associated with prematurity and vaginal fluid mucinase and salidase: result of a controlled trial of topical clindamycin cream. Am J Obstet Gynecol 1994;170:1048-60.
16. Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is improved by a standardized method of gram stain interpretation. J Clin Microbiol 1991;29:297-301.
17. Lugo-Miro VI, Green M, Mazur L. Comparison of different metronidazole therapeutic regimens for bacterial vaginosis: a meta-analysis. JAMA 1992;268:92-5.
18. Wei LJ, Lachin JM. Properties of the urn randomization in clinical trials. Controlled Clin Trials 1988;9:345-64.
19. Cnaan A, Ryan L. Survival analysis in natural history studies of disease. Stat Med 1989;8:1255-68.
20. Lan KKG, DeMets DL. Discrete sequential boundaries for clinical trials. Biometrika 1983;70:659-63.
21. Goldenberg RL, Andrews WW. Intrauterine infection and why preterm prevention programs have failed. Am J Public Health 1996;86:781-3.

Pentingnya Suplementasi Gizi bagi Ibu Hamil

Status gizi ibu yang kurang baik sebelum dan selama kehamilan merupakan
penyebab utama dari berbagai persoalan kesehatan yang serius pada ibu dan bayi,
yang berakibat terjadinya bayi lahir dengan berat badan rendah, kelahiran
prematur, dan kematian neonatal dan prenatal. Padahal, usaha perbaikan status
gizi ibu hamil telah banyak dilakukan di berbagai negara..

Pengaruh suplementasi multi gizi mikro (MGM) dan Fe-folat terhadap status gizi
makro ibu hamil dengan menggunakan penambahan berat badan hamil (PBBH) sebagai
indikator, masih sangat sedikit. Padahal, PBBH merupakan indikator utama yang
menentukan outcome kehamilan, di samping berat badan prahamil (BBpH).

Berat badan sebelum hamil, PBBH, dan indeks massa tubuh (IMT) masih merupakan
indikator yang banyak dipakai untuk menentukan status gizi ibu. Rendahnya PBBH
yang diperburuk oleh rendahnya berat badan sebelum hamil dan otomatis rendahnya
IMT ditengarai akan meningkatkan risiko kehamilan, seperti BBLR, kelahiran
prematur, dan komplikasi pada saat melahirkan.

Hal ini disampaikan Helwiah Umniyati, mahasiswa program doktor, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dalam promosi gelar doktor
dengan judul disertasi Pengaruh Suplementasi Multi Gizi Mikro Terhadap
Penambahan Berat Badan Hamil: Sebuah Studi Prospektif di Lombok yang digelar di
Ruang Promosi Doktor, Gedung G, Lantai I, FKM UI, Depok, Rabu ( 7/01).

PBBH yang terlalu tinggi berisiko terhadap komplikasi kehamilan (seperti
hipertensi, diabetes, dan pre-eklampsia), komplikasi waktu melahirkan, dan
makrosomia. Untuk menghindari risiko tersebut, ibu hamil harus memperhatikan
asupan gizi sebelum, ketika, dan setelah kehamilan, karena rerata PBBH yang
dianjurkan di negara berkembang adalah 12,5 kilogram.

Penambahan zat gizi, pada umumnya ditujukan untuk memperbaiki status gizi ibu
hamil, karena status gizi merupakan penyebab utama berbagai masalah kesehatan
yang serius pada ibu dan bayi, seperti berat bayi lahir rendah, prematur, serta
kematian neonatal dan prenatal.


Zat Gizi Mikro

Status gizi mikro ibu hamil merupakan awal mula berbagai masalah kehamilan.
Defisiensi zat gizi mikro memberikan dampak buruk pada ibu. Defisiensi zat besi
mengakibatkan anemia yang bisa meningkatkan risiko kematian pada ibu akibat
pendarahan setelah melahirkan. Defisiensi asam folat menyebabkan gangguan
hematologi, komplikasi kehamilan, dan malformasi kongenital. Defisiensi yodium
dapat berakibat kehilangan kehamilan, defisiensi vitamin A mengakibatkan rabun
senja dan peningkatan risiko kematian ibu.

Sedangkan, defisiensi zinc dihubungkan dengan komplikasi kehamilan dan
melahirkan, seperti pre-eklampsia, retardasi pertumbuhan, gangguan perkembangan
immunologi pada janin.

Studi mengenai suplementasi zat gizi mikro, sebagian besar ditujukan untuk
perbaikan status gizi mikro ibu hamil, meningkatkan BBLR, dan menurunkan angka
kematian neonatal dan bayi. Namun, studi pengaruh suplementasi gizi mikro untuk
perbaikan gizi makro ibu hamil masih sangat sedikit. Bahkan, di Indonesia belum
ada.

Penggunaan Fe-folat untuk suplementasi selama kehamilan tidak perlu diganti
dengan MGM, karena pengaruh Fe-folat terhadap PBBH sama baiknya dengan MGM
dalam meningkatkan berat badan ibu hamil. Selain itu, tidak ada perbedaan PBBH
yang bermakna antara ibu yang mengonsumsi MGM dan ibu yang mengonsumsi
Fe-folat, termasuk pengaruh suplementasi terhadap PBBH.

Sebagian besar ibu yang mempunyai BBpH rendah dan PBBH yang tidak adekuat dapat
berdampak negatif terhadap pertumbuhan janin. BBpH dan PBBH adalah dua faktor
utama yang memengaruhi terjadinya BBLR. Dampak terhadap janin akan bersifat
serius dan permanen (irreversible) sehingga sangat penting untuk
memprioritaskan perbaikan status gizi pada kelompok ibu hamil dan calon ibu
hamil.

Penelitian lanjutan mengenai PBBH dengan menggunakan variable yang lebih
lengkap, seperti menentukan berat badan ibu sebelum hamil, pengukuran berkala
berat badan ibu selama kehamilan, serta penentuan asupan makanan selama
kehamilan.

Penelitian yang dilakukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menggunakan
data sekunder dari Supplementation with Multiple Micronutrients Intervention
Trial (SUMMIT), yaitu studi double blind controlled trial pada ibu hamil.

Dalam mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji dengan promotor guru
besar tetap ilmu biostatistik dan kependudukan FKM UI Prof dr Budi Utomo MPH
Phd itu, Promovendus Helwiah Umniyati dinyatakan lulus dengan predikat sangat
memuaskan. [Ignatius Sigit Widya]

Senin, 28 Desember 2009

Perdarahan pada Neonatus

Perdarahan pada Neonatus
Posted by admin in March 18th, 2009
Posted in: Uncategorized



































Dalam berbagai penelitian dilaporkan bahwa 5-10% penyebab anemia berat pada neonatus adalah perdarahan. Sedangkan kejadian anemia pada bangsal rawat intensif neonatus tercatat sebesar 25%, yang dinyatakan dengan merendahnya volume sel darah merah. Angka tersebut merupakan kejadian diluar negeri yang fasilitas perawatannya sudah memadai. Meskipun belum ada data, tetapi dengan memperhatikan masih tingginya pertolongan persalinan oleh dukun (70-80%) serta fasilitas pelayanan yang untuk sebagian besar belum memadai, dapat diperkirakan bahwa di Indonesia kejadian perdarahan pada neonatus akan memperlihatkan angka yang jauh lebih tinggi, setidak-tidaknya 2 kali lipat dibandingkan dengan kejadian di negara maju.(1)

II.1. DEFINISI

Perdarahan ialah keluarnya darah dari salurannya yang normal (arteri, vena atau kapiler) ke dalam ruangan ekstravaskulus oleh karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah (2). Sedangkan perdarahan dapat berhenti melalui 3 mekanisme, yaitu :

1. Kontraksi pembuluh darah

2. Pembentukan gumpalan trombosit (platelet plug)

3. Pembentukan trombin dan fibrin yang memperkuat gumpalan trombosit tersebut.

Umumnya peranan ketiga mekanisme tersebut bergantung kepada besarnya kerusakan pembuluh darah yang terkena. Perdarahan akibat luka kecil pada pembuluh darah yang kecil dapat diatasi oleh kontraksi arteriola atau venula dan pembentukan gumpalan trombosit, tetapi perdarahan yang diakibatkan oleh luka yang mengenai pembuluh darah besar tidak cukup diatasi oleh kontraksi pembuluh darah dan gumpalan trombosit. Dalam hal ini pembentukan trombin dan akhirnya fibrin penting untuk memperkuat gumpalan trombosit tadi. Disamping untuk menjaga agar darah tetap didalam salurannya diperlukan pembuluh darah yang berkualitas baik. Bila terdapat gangguan atau kelainan pada salah satu atau lebih dari ketiga mekanisme tersebut, terjadilah perdarahan yang abnormal yang sering kali tidak dapat berhenti sendiri.(2)

II.2. ETIOLOGI

Berdasarkan etiologi dan waktu kejadiannya, perdarahan pada neonatus dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori utama yaitu :

1. Perdarahan in utero

2. Perdarahan obstetrik

3. Perdarahan post natal

4. Perdarahan iatrogenik

Dalam kenyataannya sukar membedakan kejadian perdarahan karena tindakan obstetrik dan perdarahan postnatal, misalnya robekan dengan perdarahan hepar akibat tindakan pada persalinan yang sulit baru akan mengakibatkan gejalanya beberapa hari kemudian dalam masa postnatal. Dalam hal demikian, untuk penggolongannya lebih diutamakan faktor waktu dan bukan faktor penyebabnya, jadi contoh jenis perdarahan tersebut diklasifikasikan ke dalam golongan perdarahan postnatal.(3)

Dalam penanganannya perlu dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, karena perdarahan akut sebanyak 30-50 ml telah dapat menyebabkan anemia dan renjatan. Pengobatan yang berdasarkan diagnosis dini sangat diperlukan untuk mencegah dilakukannya tindakan yang lebih invasif, yang mungkin akan merugikan tumbuh-kembang neonatus dengan perjalanan hidupnya yang masih jauh akan ditempuhnya. Pemberian tranfusi komponen darah dapat merupakan rangsang awal untuk terjadinya reaksi imunologik pada usia lanjut.(3)

II.3. PERDARAHAN IN UTERO

A. Perdarahan Feto-plasenta

Pada jenis perdarahan ini darah janin tercurah ke dalam jaringan plasenta atau terkumpul menjadi hematoma retroplasental. Sebagai akibat perdarahan ini akan lahir bayi dengan anemia.(3)

Etiologi

Penyebab tersering adalah umbilikus yang kaku dan tindakan selama seksio sesarea. Dalam keadaan ini aliran darah ke janin melalui vena akan berkurang, sedangkan aliran darah yang keluar dari janin ke plasenta melalui arteri berlangsung terus, sehingga volume darah janin akan berkurang. Kekurangan tersebut dapat mencapai jumlah 20% dari volume darah janin. Pada seksio sesarea bila posisi bayi ada diatas umbilikus, maka aliran darah dari bayi ke plasenta melalui A. umbilikalis akan menetap, sedangkan aliran balik dari plasenta ke bayi melalui V. umbilikalis akan terhambat karena tekanan hidrostatik. Keadaan inipun mengakibatkan berkurangnya volume darah bayi.(3)

B. Perdarahan Feto-maternal

Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa jenis perdarahan ini terjadi pada 50% kehamilan biasa, mulai dari derajat ringan sampai derajat yang berat. Walaupun pada sebagian besar kasus perdarahan yang terjadi umumnya ringan, namun perdarahan feto-maternal dapat mengakibatkan gawat janin atau kejadian lahir mati, serta merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya anemia pada bayi baru lahir.(3)

Etiologi

Penyebab yang sering dikemukakan adalah tindakan amniosentesis, tindakan pertolongan persalinan (seperti tekanan pada fundus, versi kepala, pengeluaran plasenta secara manual, pemakaian oksitosin), toksemia gravidarum, eritroblastosis fetalis, dan tumor plasenta (korioangioma dan koriokarsinoma). (3)

Manifestasi klinis

Dibedakan antara perdarahan menahun dan akut. Pada jenis menahun, perdarahan terjadi secara lambat selama kehamilan, sehingga janin masih berkesempatan untuk mengadakan kompensasi hemodinamik. Waktu lahir, bayi hanya tampak agak pucat dengan keadaan umum cukup baik, aktif, dan tidak terlihat sakit. Berlainan halnya dengan perdarahan akut, bayi lahir dengan keadaan umum yang lemah, pucat, pernafasan tidak teratur, bahkan mungkin disertai dengan renjatan. Gejala klinis dan laboratorium kedua jenis perdarahan ini dapat dibedakan. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Nilai Hb dapat bervariasi antara 3,0-12,0 g/dl. Pada perdarahan menahun, gejala anemia terdeteksi ketika bayi lahir, sedangkan kadar Hb yang nyata merendah pada perdarahan akut baru terlihat beberapa jam setelah lahir. Dengan demikian kadar Hb pada waktu lahir tidak berkaitan dengan jenis dan beratnya perdarahan. Sediaan apus darah tepi menunjukkan gambaran normokromik-mikrositik pada perdarahan akut atau gambaran hipokromik-mikrositik pada perdarahan menahun; normoblas dapat ditemukan pada kedua jenis perdarahan. Kadar bilirubun serum biasanya normal dan uji Coombs direk memberikan hasil negatif. Karena perdarahan menahun sering mengakibatkan defisiensi besi, maka pada jenis perdarahan ini dapat dijumpai kadar besi dan feritin serum yang rendah.(3)

Pemeriksaan laboratorium terpenting pada perdarahan ibu-janin adalah pemeriksaan untuk membuktikan adanya eritrosit janin dalam sirkulasi darah ibu, yang biasanya dikerjakan dengan cara elusi asam menurut Kleihauer atau cara denaturasi alkali menurut Singer. (3)

Diagnosis

Terjadinya perdarahan feto-maternal harus dicurigai pada neonatus yang lahir dengan anemia tanpa riwayat kehilangan darah sebelumnya dan tanpa adanya tanda isoimunisasi. Diagnosis ditegakkan dengan mendeteksi adanya eritrosit janin pada sirkulasi darah ibu, yang biasanya dikerjakan dengan cara Kleihauer. Pada inkompatibilitas ABO, eritrosit janin yang masuk ke dalam sirkulasi ibu akan dihancurkan oleh anti-A atau anti-B; atas dasar ini pemeriksaan kleihauer harus dikerjakan dalam waktu beberapa jam postnatal. Dengan memperhatikan ciri-cirinya dapat dibedakan antara perdarahan akut dan menahun. Diagnosis duga perlu difikirkan dengan terdapatnya eritrofagositosis pada sediaan apus buffy coat darah ibu atau meningkatnya titer anti-A atau anti-B imun dalam serum ibu menjelang kelahiran. Dengan melakukan pemeriksaan golongan darah ABO/Rh pada ibu dan bayi, kadar Hb F, dan uji Coombs dapat dibuat diagnosis banding dengan sindrom talasemia, hemoglobinopati, atau eritroblastosis fetalis. (3)

Pengobatan

Pada perdarahan akut dapat diberikan carian intravena atau transfusi darah atas indikasi yang tepat. Karena dapat terjadi renjatan dan gawat janin, mungkin diperlukan perawatan intensif; pemberian preparat besi biasanya ditangguhkan. Jenis perdarahan menahun umumnya tidak memerlukan transfusi darah; dalam kasus ini senyawa besi dapat langsung diberikan. (3)

C. Perdarahan Feto-fetal

Jenis perdarahan ini dicurigai untuk pertama kalinya pada tahun 1942 ketika ditemukan adanya anemia pada satu kembar dan polisitemia pada kembar lainnya. Sejak itu jumlah kasus dilaporkan dalam kepustakaan, yang kemudian kejadiannya pada kembar monokrionik diperkirakan sebanyak 15-33%. Perdarahan feto-fetal akan menimbulkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, baik pada kembar donor maupun pada kembar resipien.(3)

Terdapat 2 faktor yang berperan pada perdarahan feto-fetal : (1) jenis plasenta, dan (2) jenis anastomosis. Pada kehamilan kembar terdapat 4 macam plasenta, yaitu : (a) diamniotik-dikorionik terpisah, (b) diamniotik-dikorionik tergabung, (c) diamniotik-monokoriotik tergabung, dan (d) monoamniotik-monokoriotik tergabung. Dibedakan 3 jenis anastomosis pembuluh darah fetus dalam plasenta : (1) arteri ke artei, (2) vena ke vena, dan (3) arteri ke vena. Dengan memperhatikan kedua faktor tersebut, perdarahan feto-fetal sering terjadi pada kembar dengan plasenta monokorionik dan anastomosis arteri ke vena.(3)

Manifestasi klinis

Sebagai akibat transfusi feto-fetal yang paling sering adalah lahir mati atau kematian neonatal dini. Pada jenis perdarahan inipun dibedakan perdarahan menahun dan akut. Gejala yang ditemukan pada kembar donor adalah pucat, lemah, dan mungkin disertai tanda renjatan. Sering ditemukan pula tanda kompensasi sistem eritropoetik, berupa adanya normoblas pada darah tepi atau kenaikan retikulosit. Meskipun tidak selalu, umumnya berat badan bayi donor lebih rendah dari bayi resipien. Kaitan perbedaan berat badan dengan jenis perdarahan dikemukakan sebagai berikut. Bila perbedaan berat badan antara bayi kembar melebihi 20% berat badan bayi kembar yang besar, maka : (1) jenis perdarahan yang terjadi berupa perdarahan menahun, dan (2) bayi kembar dengan berat badan rendah ialah kembar donor. Keadaan ini dapat dikonfirmasikan dengan kenaikan jumlah retikulosit pada kembar kecil sebagai akibat telah terjadinya perdarahan menahun.(3)

Lebih parah lagi gejala yang ditemukan pada kembar resipien sebagai akibat terjadinya polisitemia. Seandainya lahir hidup, gejala akibat polisitemia dapat berupa bayi pletorik, polihidramnion dengan disertai dekompensasi jantung, kesulitan pernafasan, trombosis, hiperbulirubinemia dan kernikterus.(3)

Pemeriksaan Laboratorium

Pada kembar identik (monokorionik) dugaan terjadinya transfusi feto-fetal dimungkinkan bila terdapat adanya perbedaan kadar Hb antara kedua kembar yang melebihi 5 g/dl. Nilai Hb hendaknya ditetapkan dengan pengambilan darah vena. Pada kembar donor ditemukan anemia dengan nilai Hb yang berkisar antara 3,7-18,0 g/dl, jumlah retikulosit meningkat, normoblas pada darah tepi, dan mungkin trombositopenia pada keadaan yang berat. Tanda yang ditemukan pada kembar resipien adalah polisitemia dengan nilai Hb berkisar antara 20-30 g/dl, hematokrit dapat mencapai nilai 82%, dan hiperbilirubunemia yang dapat melebihi nilai 20 mg/dl.(3)

Pemeriksaan makroskopis plasenta dapat pula membantu diagnosis, seandainya ditemukan hidramnion pada kantong amnion yang satu dan oligohidramnion pada kantong amnion lainnya. Pada autopsi dapat dideteksi perbedaan yang nyata pada ukuran dan berat badan bayi maupun organ tubuh, seperti hati, jantung, ginjal, dan timus. (3)

Pengobatan

Penanganan bayi kembar dengan sindrom transfusi feto-fetal memerlukan tindakan cepat dan tepat, serupa dengan tindakan gawat darurat. Bayi kembar donor yang mungkin dalam keadaan gawat memerlukan parawatan intensif yang umum, seperti pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian cairan intravena atau darah, pengelolaan keseimbangan asam-basa dan parameter hematologik lainnya. Bila terdapat gejala payah jantung, dapat diberikan digitalisasi dengan pemberian digoksin 0,03-0,05 mg/kg.BB/hari secara parenteral, yang mungkin perlu disertai degnan pemberian furosemid 0,5-1,0 mg/kg.BB/kali secara intramuskular, dan dapat diulang setelah 2 jam. (3)

Bayi kembar donor dengan keadaan umum cukup baik dan hanya menunjukkan gejala anemia ringan cukup diberi senyawa besi oral, misal sulfas ferosus 5-10 mg/kg BB/hari selama labih kurang 3 bulan. Baik bayi kembar donor maupun resipien pemantauan kadar Hb diperlukan dalam masa 3 bulan postnatal, tanpa menghiraukan pernah atau tidaknya pemberian transfusi darah. Hal ini diperlukan karena seringnya terjadi anemia defisiensi besi pasca transfusi biasa maupun pasca transfusi ganti. Setelah 3 bulan biasanya cadangan besi terpenuhi dan keseimbangan besi tubuh cukup memadai. (3)

II.4. PERDARAHAN OBSTETRIK DAN KELAINAN PLASENTA

Robekan umbilikus

Komplikasi persalinan ini masih dijumpai sebagai akibat masih terjadinya partus presipitatus dan tarikan berlebih pada lilitan atau pendeknya tali pusat pada partus normal. Pada partus presipitatus selain perdarahan dari umbilikus mungkin ditemukan gejala perdarahan intrakranial akibat tidak tertangkapnya bayi saat melahirkan dan kemudian jatuh ke lantai. (9)

Robekan umbilikus mungkin pula terjadi karena kelalaian tersayatnya dinding unbilikus/plasenta sewaktu seksio sesarea. Robekan tali pusat disebabkan pula karena pecahnya hepatoma, varises dan aneurisma pembuluh darah, tetapi pada sebagian kasus tanpa penyebab yang jelas. Kadang-kadang secara sepintas tidak tampak adanya perdarahan eksternal, karena darah yang keluar langsung masuk kedalam jaringan plasenta. Perdarahan karena pecahnya hematoma dapat mengakibatkan perdarahan masif, bahkan kematian bayi. (9)

Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya difikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah, seperti pembuluh aberan, insersi velamentosa tali pusat, atau plasenta multilobularis. Pembuluh darah aberan mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jelly Wharton pada insersi velamentosa, pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam plasenta, karena didaerah tersebut tidak ada proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda atau multipel. Demikian pula pada plasenta multilobularis pembuluh darah yang menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan plasenta sangat rapuh dan mudah pecah. (9)

Perdarahan akibat plasenta previa atau abrupsio plasenta dapat membahayakan bayi. Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya anemia pada 10 bayi baru lahir yang disertai dengan plasenta previa. Abrupsio plasenta lebih sering mengakibatkan kematian intrauterine karena anoksia ketimbang anemia pada bayi baru lahir; diantara bayi dengan abrupsio plasenta yang tertolong hidup, kejadian anemia tercatat hanya sebesar 4%. Pengamatan plasenta untuk menentukan adanya perdarahan hendaknya dilakukan pada bayi yang dilahirkan dengan kelainan plasenta atau dengan seksio sesarea; bila diperlukan pada bayi demikian dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala. (9)

II.5. PERDARAHAN POSTNATAL

A. Perdarahan intrakranial

Trauma lahir intrakranial pada neonatus umumnya berupa perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat terjadi akibat trauma mekanis, trauma hipoksik, atau gabungan keduanya. Dengan kemajuan bidang obstetri, trauma lahir mekanis umumnya dapat dihindari atau dikurangi, tetapi trauma hipoksik sering lebih sukar untuk dihindari. Trauma hipoksik yang terjadi pada bayi kurang bulan atau bayi prematur sering menimbulkan terjadinya perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan masih imaturnya susunan saraf pusat, sistem sirkulasi serebral, dan sistem autoregulasi bayi kurang bulan. Pada waktu ini perdarahan intrakranial pada neonatus lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Lokasi perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.(6)

Klasifikasi perdarahan intrakranial pada neonatus menurut Volpe, dalam garis besarnya secara klinis dibagi dalam empat jenis, yaitu : (1) Perdarahan subdural, pada bayi cukup bulan lebih sering dijumpai dibandingkan dengan bayi kurang bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma. (2) Perdarahan subaraknoid primer, pada bayi kurang bulan lebih sering dijumpai dibandingkan bayi cukup bulan, umumnya faktor penyebabnya berupa trauma atau faktor hipoksia. (3) Perdarahan intraserebelar, umumnya dijumpai pada bayi kurang bulan yang disebabkan oleh faktor hipoksia atau mungkin oleh faktor trauma. (4) Perdarahan periventrikular-intraventrikular, dijumpai pada bayi kurang bulan, umumnya disebabkan faktor hipoksia.

1. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan trauma kepala pada BBL cukup bulan. Beberapa faktor merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi forseps. (6)

Gejala klinis

Gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala kehilangan darah seperti pucat, gawat nafas, ikterus akibat hemolisis atau menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubun-ubun menonjol, atau sutura melebar. (6)

Diagnosis

Diagnosis perdarahan subdural didasarkan pada riwayat kelahiran bayi disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran lahir dan pada bayi ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol, sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan subdural. (6)

2. Perdarahan subaraknoid primer

Perdarahan subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat trauma lahir, sebagian lain diduga terjadi akibat proses hipoksia janin. Perdarahan ini umumnya ditemukan pada bayi prematur. Perdarahan subaraknoid primer merupakan perdarahan dalam rongga subaraknoid yang bukan merupakan akibat sekunder dari perluasan perdarahan subdural, intraventrikular, atau intraserebelar. Perdarahan umumnya terjadi akibat ruptur pada jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat ruptur pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah umumnya terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa posterior. (6)

Gejala klinis

Gejala klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan fungsi neurologik. Gambaran yang timbul berupa perdarahan yang umumnya kecil saja dan tidak sampai menimbulkan keadaan yang buruk, sedangkan gejala neurologik berupa iritabilitas dan kejang. (6)

Diagnosis

Didasarkan pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan ditemukan adanya riwayat kejang. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya perdarahan dan kenaikan kadar protein. Pemeriksaan ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan diagnosis perdarahan subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga subaraknoid mungkin saja berasal dari sumber perdarahan intrakranial lain. (6)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid umumnya bersifat simptomatik, misalnya pengobatan terhadap kejang atau gangguan nafas. Selanjutnya perlu dilakukan observasi terhadap kadar darah tepi dan sistem kardiovaskular serta kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia. Selain itu perlu diawasi terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi hidrosefalus. (6)

3. Pedarahan intraserebelar

Perdarahan intraserebelar relatif jarang terjadi, lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Secara klinis perdarahan ini sukar ditemukan, walaupun dengan sarana penunjang alat penatahan kepala, umumnya ditemukan pada pemeriksan autopsi. Angka kejadian pada bayi kurang bulan dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g berkisar antara 15-25%. Angka kejadian pada pemeriksaan autopsi ini terlihat lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan klinis dengan penatahan kepala. (6)

Diagnosis

Diagnosis perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta riwayat kesukaran pada kelahiran letak sungsang, tarikan forsep, atau keduanya, dan adanya riwayat hipoksia. Gejala dapat timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir, bahkan setelah umur tiga minggu. Gejala neurologik yang dijumpai umumnya berupa gejala kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau iregularitas pernapasan. Kadang disertai bradikardi, obstruksi aliran cairan serebrospinal disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol, dan sutura melebar. Pada pemeriksaan USG kepada terlihat pembesaran ventrikel. (6)

Penatalaksanaan

Kesukaran dalam penatalaksanaan umumnya disebabkan karena sulitnya menegakkan diagnosis dini perdarahan intraserebelar. Tindakan intervensi bedah hanya dilakukan pada bayi cukup bulan bila dengan pengobatan konservatif keadaan neurologik bayi tetap tidak menunjukkan perbaikan. Pada bayi kurang bulan tindakan bedah akan menghadapi masalah lebih sulit. (6)

4. Perdarahan periventrikular-intraventrikular (PPV-IV)

Jenis perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang sering ditemukan pada bayi kurang bulan. Kejadian PPV-IV pada bayi cukup bulan lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi prematur atau kurang bulan. Pada bayi cukup bulan, perdarahan yang terjadi sebagian besar berasal dari perdarahan pleksus koroid, hanya sebagian kecil berasal dari matriks germinal subependimal.(8)

Faktor resiko

Menurut Volpe (1987) pada dasarnya terdapat tiga kelompok faktor penting penyebab PPV-IV yaitu :

1. Faktor intravaskular, terdiri atas fluktuasi aliran darah serebral, peningkatan aliran darah serebral, peninggian tekanan vena serebral, penurunan aliran darah serebral yang diikuti perfusi, kelainan sistem pembekuan, dan kelainan trombosit.
2. Faktor vaskular, terdiri atas kelemahan integritas vaskular dan kerentanan kapiler matriks terhadap trauma hipoksik-iskemik.
3. Faktor ekstravaskuler terdiri atas kelemahan sistem penyangga vaskular, aktifitas fibrinolitik pada bayi premature, dan penurunan tekanan jaringan ekstravaskular.

Gejala klinis

Tergantung dari berat ringannya perdarahan, gejala klinis PPV-IV yang timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau sindrom, yaitu :

1. Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat perburukan terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan kesadaran menjadi sopor atau koma, gangguan respirasi, kejang tonik umum, posisi deserebrasi, refleks cahaya negatif, reflek vestibular negatif, ubun-ubun besar menonjol, hipotensi, bradikardia, asidosis metabolic dan kelainan homeostasis.
2. Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan kesadaran, gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola mata serta dapat disertai gangguan nafas. Perburukan klinis dapat bertahap dalam beberapa hari.
3. Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak dijumpai kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran radiologik-ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan kemampuan untuk mengenal kemungkinana terjadinya PPV-IV, yaitu dengan cara mengenal kasus risiko untuk timbulnya perdarahan. Risiko tersebut antara lain adalah bayi kurang bulan, bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g, persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila tidak ada sarana USG, maka dapat dilakukan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan.(8)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PPV-IV pada dasarnya terdiri tiga tahap yaitu tindakan pencegahan, pengobatan awal atau pada masa akut, dan penatalaksanaan dilatasi ventrikel posthemoragik.

B. Defisiensi Vitamin K

Perdarahan karena defisiensi vitamin K telah lama dikenal dan Townsend (1894) memberikan istilah Haemorrhagic disease of the newborn untuk membedakannya dari perdarahan yang disebabkan oleh penyakit lain. Oleh the Committee on Nutrition of the American Academy of pediatrics (1961) penggunaan istilah tadi hanya dikhususkan bagi perdarahan yang terjadi beberapa hari pertama kelahiran akibat kekurangan vitamin K dan ditandai dengan defisiensi protombin, prokonvertin, dan mungkin faktor pembekuan lain. Kejadiannya sering ditemukan pada prematuritas, bayi cukup bulan yang hanya mendapat ASI, bayi yang mendapat makanan parenteral, sering diare, sering mendapat antibiotik, dan pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu dalam pengobatan luminal, hidantoin, salisilat, atau kumarin. Diperkirakan kejadian perdarahan pada neonatus yang berkaitan dengan fungsi vitamin K adalah 1 di antara 200-400 kelahiran.(7)

Telah dibuktikan bahwa vitamin K tidak diperlukan langsung untuk pembentukan faktor pembekuan II (protombin), VII, IX, dan X, tetapi berperan secara langsung dalam proses konversi prekursor protein pembekuan menjadi protein pembekuan aktif. Peran vitamin K dalam proses biokimiawi tersebut dalam reaksi karboksilase atom C pada gama-metilen senyawa asam glutamat tertentu yang terdapat pada bahan prekursor protein pembekuan. Teori karboksilase ini tidak hanya berlaku bagi faktor II, tetapi juga untuk faktor pembekuan lain yang tergantung vitamin K, seperti faktor VII, IX dan X.(7)

Manifestasi klinis

Perdarahan yang timbul dapat bervariasi dari yang ringan berupa ekimosis sampai yang bersifat fatal berupa perdarahan intrakranial atau perdarahan internal. Gejala tersebut akan bermanifestasi dalam bentuk perdarahan umbilikus, ekimosis, epstaksis, perdarahan gastrointestinal, adrenal, dan intrakranial dengan berbagai akibatnya. Tidak jarang gejala yang tampak berupa perdarahan yang timbul setelah 4 minggu, biasanya terdapat pada bayi yang mendapat ASI tanpa pemberian vitamin K, bayi dengan diare berulang, hepatitis, atau atresia biliaris. (7)

Penatalaksanaan

Oleh American Academy of Pediatrics untuk pencegahan dianjurkan pemberian vitamin K 0,5-1,0 mg sebagai dosis parenteral tunggal atau 1,0-2,0 mg sebagai dosis oral tunggal. Pemberian dengan dosis serupa dapat diulang untuk keperluan pengobatan, atau dosisnya dapat diperbesar bila diberikan kepada bayi yang dilahirkan dari ibu dalam pengobatan antikonvulsan. Selain itu dianjurkan pula pemberian vitamin k dengan dosis 0,5 mg setiap minggu secara teratur kepada bayi baru lahir yang mendapat makanan parenteral, menderita diare berulang dan menahun, atresia biliaris, hepatitis neonatal, abetalipoproteinemia, atau menderita fibrokistik pankreas. Dalam keadaan tertentu mungkin diperlukan pemberian plasma (beku) segar untuk menangani perdarahan yang mungkin bersifat serius dan fatal. (7)

C. Koagulasi intravaskular diseminata (KID)

KID adalah suatu keadaan patofisiologik pembekuan intravaskular yang menyeluruh dengan akibat terbentuknya mikrotrombus dan timbulnya perdarahan karena terpakai habisnya semua faktor pembekuan dan trombosit. Keadaan terpakai habisnya faktor pembekuan dan trombosit akan menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan. Selanjutnya pembentukan trombus dalam kapiler akan mengakibatkan kerusakan mekanis terhadap eritrosit sehingga terdapat bentuk eritrosit yang terpecah-pecah dan eritrosit yang mengeriput dengan dinding yang tidak treratur rata. KID merupakan keadaan yang sering dijumpai dan menjadi penyebab utama perdarahan pada neonatus yang menderita kelainan patologik.(2)

Etiologi

KID merupakan penyakit tersendiri, tetapi timbul sebagai respons terhadap berbagai rangsangan patologik. Keadaan patologik yang dapat menjadi pemacu KID, khususnya pada neonatus adalah anoksia, hipotensi, sepsis, sindrom gawat paru, dan prematuritas. Rangsangan tersebut akan mempermudah proses koagulasi melalui berbagai kelainan dalam pembuluh darah sebagai berikut : (1) Kerusakan sel endotel, (2) Kerusakan jaringan, (3) Kerusakan eritrosit dan trombosit, (4) kerusakan sistem retikuloendotelial. Keadaan ini khususnya ditemukan pada prematuritas.(2)

Manifestasi klinis

Gejala yang timbul sangat bervariasi dan tergantung dari 2 faktor penentu, yaitu jenis penyakit primer sebagai penyebab KID, dan luasnya perdarahan. Gejala perdarahan dapat bervariasi dari perdarahan berupa petekie yang ringan sampai perdarahan internal yang fatal, seperti perdarahan pulmonal, intrakranial, atau gastrointestinal massif. Biasanya gejala perdarahan yang agak khas adalah terdapatnya rembesan atau tetesan darah yang keluar dari tempat tusukan. Bila proses KID berlanjut, mungkin ditemukan tanda nekrosis dan gangguan jaringan. (2)

Penatalaksanaan

Tindakan yang terpenting adalah penanganan terhadap penyakit primernya dan bukan terhadap masalah perdarahannya, karena KID dengan sendirinya akan teratasi bila penyakit pencetusnya menyembuh. Oleh karena itu dalam pengelolaannya lebih diutamakan tindakan seperti pemberian antibiotik yang serasi dan memadai, koreksi keseimbangan asam-basa, pemantauan tanda vital, dan bila perlu perawatan intensif. (2)

Dewasa ini pemberian heparin lebih terindikasi, yaitu hanya terhadap kasus KID dengan trombosis pada pembuluh darah utama atau menunjukkan gejala perdarahan hebat. Prinsip pemberiannya adalah untuk mempertahankan waktu perdarahan antara 20-30 menit atau waktu tromboplastin parsial antara 11/2 – 2 kali normal. (2)

D. Defisiensi Kongenital faktor koagulasi

Kejadian perdarahan pada neonatus akibat defisiensi kongenital faktor pembekuan jarang terjadi, khususnya di Indonesia. Biasanya bayi dengan kelainan faktor koagulasi ini dapat melalui masa neonatusnya tanpa masalah perdarahan, kecuali pada kasus dengan defisiensi berat atau akibat suatu tindakan bedah (sirkumsisi). Perdarahan neonatus dengan hemofilia dapat dicegah bukan karena adanya faktor VIII ibu yang masuk melalui plasenta tetapi karena dilepaskannya tromboplastin jaringan sebagai akibat tekanan alat penjepit pada luka sirkumsisi. Perdarahan akibat defisiensi faktor pembekuan ini baru dicurigai setelah penyebab utama perdarahan lainnya dapat disingkirkan. Diantara sejumlah kasus yang perdarahan pada masa neonatus, defisiensi faktor VIII dan IX merupakan penyebab yang tersering, sedangkan kejadian karena penyakit Von Willebrand, defisiensi faktor V, VII, X, XI, XIII, dan anfibrinogenemia lebih jarang ditemukan. Selain akibat sirkumsisi, jenis perdarahan yang tampak dapat berupa perdarahan pada tempat suntikan, hematoma subdural, perdarahan subaraknoid, atau perdarahan umbilikus.(2)

Diagnosis prenatal saat ini dimungkinkan terhadap defisiensi faktor VIII dan IX dengan cara pemeriksaan darah janin dan cairan amnion yang masing-masing diperoleh secara fetoskopi dan amnioskopi pada minggu ke 18-21 masa kehamilan. Dengan cara imunologik dapat ditentukan kadar faktor VIII dalam darah janin dan kadar faktor IX dalam cairan amnion. Diagnosis prenatal defisiensi faktor pembekuan lainnya sedang dikembangkan.(2)



DAFTAR PUSTAKA

1. Rustama SD, Neonatal hypothyroidism, idd-Indonesia.net: 22 mei 2004.

2. Hasan R, Alatas H, Penyakit perdarahan, Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta; Infomedika, 1985, hal : 457-482.

3. Hidayah N, Menurunkan insiden perdarahan, Kompas, 14 November 2003.

4. Behrman & Vaughan, Perdarahan pada anak, dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Bagian 1, Edisi 12, Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: hal : 215-218.

5. Markum AH, dkk, Masalah hematologik pada janin dan neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 317-328.

6. Markum AH, dkk, Trauma intrakranial, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 274-279.

7. Markum AH, dkk, Defisiensi vitamin K, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal : 183-185.

8. Saanin S, Ilmu bedah saraf, Padang; FK UNAND, 2004.hal : 45-48.

9. Wiknjosastro H, Perdarahan pada neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kebidanan dan Kandungan, bagian 1, Edisi 3,; Penerbit Yayasan bina pustaka sarwonohardjo, 1995, Jakarta hal : 210-212