Cari Blog Ini

Selasa, 29 Desember 2009

ARKETISME INTELEKTUAL

intelektual
Sebuah surat pembaca di harian nasional membuat saya tercenung. Intinya begini “bangsa kita terpuruk. Rakyat dililit kesulitan ekonomi, pemimpin semakin egois, dan masyarakat dilanda dekadensi moral….sampai kapan kondisi ini dibiarkan? Ke mana para intelektual bangsa ini?”

Intelektual? Mengapa harus intelektual? Agaknya si penulis surat pembaca itu tak berlebihan jika berasumsi kalau saja para intelektual berfungsi sebagaimana mestinya, bisa jadi bangsa ini selamat dari keterpurukan. Seperti diungkapkan oleh Vaclav havel, kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Intelektual adalah mereka yang membaktikan hidupnya untuk berfikir demi kepentingan umum.

Apa yang dikatakan havel itu sekaligus memilah orang menjadi : mereka berfikir demi kepentinga pribadi dan kepentingan umum. Mereka yang selama ini cendering memikirkan kepentingan pribadi misalnya berfikir keras untuk melanggengkan kekuasaanya atau korupsi dengan sebesar-besarnya demi kenikmatan pribadi, maka havel menempatkan mereka bukan sebgai intelektual. Tak perduli mereka itu mengenyam pendidikan tinggi, katakana doctor luar negeri yang lulus cemerlang, tetapi jika sudah terjebak kepada prilaku berfikir demi kepentingan pribadi maka gugurlah sebutan intelektual dimaksud.

Ini paralel dengan batasan yang diberikan Antonio gramsci dalam bukunya Selections from prison note books (1978); bahwa semua manusia adalah intelektual. Tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Lantas, jika dikolaborasikan dengan batasan havel, maka lahirlah sebuah asumsi bahwa mereka yang telah memikirkan kepentingan pribadi telah kehiklanan fungsi intelektual. Atas dasar ini wajar jika pertanyaan public (diwakili surat pembaca tadi) “kemanakah para intelektual?” diubah menjadi “mengapa fungsi intelektual tak nampak?”.

Saat membicarakan fungsi intelektual ini saya jadi teringat pernyataan sartono kartodirjo saat peluncuran bukunya, sejak indische sampai Indonesia. Saat itu eyang guru mengatakan intelektual diharapkan menjadi kelompok inti pembaruan masyarakat yang bobrok ini. Salah satu langkah adalah menjalankan etos mesu budi, yaitu mengurangi makan dan tidur, serta bekerja keras dengan disiplin. Mesu budi ini sebangun dengan asketisme intelektual.

Laku pertapa

Asketik adalah istilah yang sering digunakan kepada rahib. Istilah ini berasal dari bahasa yunani uang berarti laku (menjalankan). Rahib memperaktikan asketik sebagai maksud membedakan dengan orang kebanyakan.
Laku ini kebih banyak mempraktikan berbagai tindakan penyiksaan diri agar disenangi oleh tuhan. Wajr saja jika kemudian asketisme acapkali diekspresikan ke dalam ide-ide kemartiran, keperawanan dan selibt sebagai penyerahan diri kepada tuhan.
Kemudian konsep itu berubah, tetapi tetap saja menjauh dari duniawi, seperti hidup sebagi pertapa. Salah satu tokohnya adalah simeon stylite (390-459).
Sejak itu asketik-asketik menempuh hidupnya secara unikkk.ada yang hidup di bubungan rumah selam 53 tahun, dan ada pula yang hidup di bak mandi yang digantungkan di udara selam 10 tahun. Ada pula yang selama enam buan tidur di dalam paya dan mengeluarkan badannya yang telanjang untuk di sengat lalat beracun. Lalu, ada yang selama tiga tahun hidup di sumur kering, bediri selama empat tahun, makan jagung busuk selama berbulan-bulan, dan keunikan lain yang jarang dijumpai pada zaman sekarang ini.
Tahun demi tahun asketisme terus menglami perubahan dan istsitusionalisasi.s ampai seatu saat asketisme secara umum mencakup penerimaan penderitaan fisik yang disebabkan oleh orang lain (contohnya penganiayaan) hingga penyangkalan (seperti menolak kebutuhan tubuh; makan, tidur seks, bicara dll).
Asketisme baru menuntut sebuah penyangkan diri dan penderitaan melalui tugas-tugas tertentu. Alasannya tetap sama; penebusan dosa, penaklukan diri, bersyafaat demi kemurahan dan kebaikan illahi.
Saat ini ideal asketik lebih pas memakai pandangan etikanya irving babbit. Ideal asketik, kata babbit, adalah pada kebijakan kepantasan, sikap sedang, pembatrasan, penaklukan diri, pemeriksaan batin, hingga kehendak untuk menahan diri. Dari sinilah muncul penegrtian harfiah bahwa asketisme adalah paham yang mempraktikan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.

Membangun ke-“kita”-an
Dari pengertian harfiah saja kita sudah bisa membayangkan dampak dari lelaku asketik. Kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban merupakan pilar-pilar untuk membangun ke-kita-an.
Logika kesederhanaan adalah membatasi nafsu duniawi sehingga muncul peluang untuk membagi kenikmatan kepada orang lain. Kemewahan acapkali mengantarkan seseorang kepada sifat keserakahan sebagai representasi “saya” bukan “kita”. Seumpama “saya” bisa bermewah-mewahan karena “saya” bekerja keras membanting tulang. Kesederhanaan mendorong seseorang menjadi berfikir segala sesuatu yang terjadi pada “kita”. Seumpama begini “saya” tak layak untuk bermewah-mewahan karena diantara “kita” masih banyak beragam kesusahan.
Keutamaa akan “saya” membuat seseorang berfikir panjang untuk berkorban. Sebaliknya, “kita” mendorong orang untuk rela berkorban demi orang lain. Di antara ‘kita” masih ada orang yang dibekap kemiskinan dan mereka butuh uluran bantuan, maka “saya” harus rela berkorban. Inilah yang dinamakan kepekaan. Sikap ini pula yang membuat seseorang menjadi manusia utuh. Bukankah jon sorbino, tokoh solidaritas el savador, pernah menyatakan “kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tangbung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.”
Kaum intelektual idealnya mendekati manusia utuh versi sorbino ini. Mereka peduli kepada kaum yang menderita dan peka mendengarkan suara rakyat. Kaum intelektual berdiri di belakang para kaum tertindas sembari mengatakan kebenaran. Seperti diingatkan oleh edward said, orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa.
Fakta yang terjadi di Negara ini, orang-orang yang berkuasa acapkali salah memahami arti kekuasaan. Para penguasa itu mengingkari makna akuntabilitas, yakni tanpa mau mengembalikan kepercayaan yang diberikan rakyat untuk kebaikan rakyat. Justru yang terjadi, kepercayaan rakyat digunakan untuk kepentingan pribasi atau kelompoknya. Akibatnyja, rakyat merasa dikhianati. Ekspresi kemarahan rakyat terkadang membabi-buta dengan bentuk anarkisme.
Bagi intelektual, “menciptakan sebuah bahasa” bukanlah soal mudah, teritama bagi mereka yang menjadi intelektual organic. Terkadang urusan perut mengabaikan fungsi keintelektualan seseorang.
Barangkali “pengakuan” dua orang dosen ini bisa mewakili kaum terdidik kita. Pertama adalah seorag doctor yang disegani di yogyakarta. Kalau namanya saya sebut, orang akan tahu bahwa sosok ini adalah seorang ilmuwan humaniora yang banyak berkarya. Ia pernah mewanti-wanti saya, “ilmu itu harus digunakan untuk perbaikan bangsa.” Belakangan saya bisa mengamati sikapnya, ia memang asketik intelektual. Ia mengaku masih bisa hidup dengan gajirelatif kecil, sementara penghasilan tambahan digunakan untuk menerbitkan jurnal dan membangun komunitas budaya.
Orang kedua adalah seorang ekonom. Ia sudah mengajar selama 20 tahun, tetapi mengaku (pengakuannya pernah dimuat di Koran local), gaji kotornya tak melebihi 2 juta rupiah perbulan. Saya membayangkan dengan gaji sebesar itupastilah hidupnya sederhana.
Akan tetapi, bayangan saya buyar tatkala suatu saat berkunjung ke rumahnya. Walah… walah, out sih bukan rumah mulik seorang yang bergaji kurang dari 2 juta. “tiga bulan lalul kami pindah ke sini. Kami membeli dari seseorang seharga 600 jt, kata sang ekonom menjelaskan. “kalo melulu dari gaji, ya engak mungkin bisa beliiii rumah ini. Ternyata ia dosen biasa di luar (bukan luar biasa).
Kalo ditimbang-timbang berada di manakah kaum cerdik-pandai kita? Ada pada orang pertama atau orang kedua? Sesungguhnya dari hasil menimbang itu kita sudah menenmukan jawaban dari surat pembaca itu. Ternyata, urusan perut membuat banyak orang melupakan fungsi intelektual. Maka wajar saja jika bangsa ini tak juga bangkit dari keterpurukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar